Antara Diskusi dan Perdebatan Opini , Selesai diskusi, ada beberapa

banner 120x600
banner 468x60

Centralinfomationasean.com-14/10/2024-anak UIN menghampiri saya di depan Seminar,Mereka berniat untuk mengundang seminar di akhir bulan November .

Sebelumnya permintaan sudah diajukan ke Penerbit.Narsum yang diundang, katanya, Habib Ja’far, saya dan guru gembul.

banner 325x300

Narsum pertama nggak bisa karena ada halangan. Tinggal saya sama yang terakhir.

Saya tanya, temanya apa? “Saya nggak mau bicara tentang sesuatu yang berada di luar bidang saya”, tegas saya kepada mereka. “Kalian juga harusnya mengundang orang yang benar-benar ahli. Kalau sama yang itu saya udah nggak mau.” Males diremehkan nggak jelas. Orang udah serius niat diskusi, panitia udah capek – capek bikin tempat, malah meremehkan di muka umum.

Saya kira kesadaran semacam ini perlu diperhatikan oleh siapapun. Saudara, otak kita itu terbatas,tetapi Pemikiran bebas Kalau Anda diminta bicara di suatu forum, dan Anda merasa tak punya kapasitas akademik tentang tema yang diangkat, ya jangan mau. Dan nggak usah bernafsu untuk membicarakan sesuatu yang bukan bidang Anda.

Dunia intelektual bisa maju dengan kesadaran semacam itu. Sebaliknya, dia bisa rusak ketika spesialisasi dan keahlian tidak lagi menjadi bahan pertimbangan. Orang ramai bicara tentang nasab, saya nggak mau ikut – ikutan berargumen soal itu. Mingkem aja. Meskipun dimintai beberapa kali. Ya emang bukan ahli kok.

Sekalinya berkomentar, paling menyodorkan fakta, ini loh kesepakatan para ulama. Dan saya mengikuti mereka. Ayo, mending kita ikuti mereka aja. Selesai. Karena mereka pasti lebih tahu. Atau paling mengomentari cara berpikir, kalau memang ada yang dirasa bermasalah. Udah. Sebatas itu aja.

Diundang dengan honor 25 juta pun saya nggak bakal mau. Karena itu bukan bidang saya. Kalaupun terpaksa harus bicara, tentang bidang lain yang di luar keahlian Anda, maka bicaralah sebagai muta’allim (orang yang belajar), bukan mu’allim (pengajar). Bicaralah sebagai pengutip (naqil). Bukan pengkritik (naqid). Etika intelektualnya memang begitu.

Lain cerita dengan pakar berkomentar. Yang penting ngomong dulu. Benar salah mah belakangan. Pendapat ahli dikesampingkan. Lalu yang dikedepankan adalah pendapat pribadi dan nalar yang liar. Dengan alasan kebebasan berpendapat. Rusaknya dunia keilmuan bermula dari cara berpikir semacam itu.

Coba deh bayangin, kalau setiap orang punya kesadaran dengan kadar kemampuannya masing- masing. Yang nggak tahu nanya sama yang tahu. Yang udah tahu pun nanya ke yang lebih tahu. Hormati keahlian. Dan jangan bicara sembarangan. Kehidupan kita bisa lebih sehat bukan.

( Sholihul)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *