Centralinfomationasean.com-14/10/2024-Opini , Pancaindera saya hanya menangkap hal-hal yang bersifat sampingan dari orang ini. Seperti warna kulitnya, panjang tubuhnya, bentuk kepalanya, dan lain-lain. Tapi tidak menangkap apa hakikat intinya. Sekiranya kelak orang ini berubah warna kulit, hakikat dia tidak akan terpengaruh sama sekali. Kalau tiba-tiba kepalanya berubah lonjong, ya dia tetap dengan hakikatnya. Tidak berubah seiring dengan adanya perubahan sifat yang dia miliki.
Orang2 di luar sana memandang sosok ini sebagai wasit. Tapi Anda tahu nggak sih, bahwa indera kita itu sesungguhnya tidak pernah bisa loh melihat “wasit”? Karena kata “wasit” itu bermakna universal (mafhum kulli). Dia berlaku bagi banyak orang. Bukan orang ini aja. Pendek kata, yang kita lihat itu sebenarnya bukan wasit. Tapi individu/orang tertentu yang kepadanya diberlakukan sebuah konsep universal bernama “wasit” (pahami analisis filosofis ini dengan baik).
Melalui contoh sederhana ini, saya hanya ingin kembali menegaskan bahwa lagi-lagi pengetahuan inderawi itu nggak bisa berdiri sendiri. Pada akhirnya dia akan bergantung pada pengetahuan rasional. Tanpa pengetahuan rasional, indera yang Anda miliki tidak akan pernah bisa melakukan justifikasi. Konsep universal bernama “wasit” itu dirumuskan berdasarkan analisis rasional. Meskipun berangkat dari pengamatan inderawi. Yang Anda lihat, sekali lagi, bukan wasit. Tapi individu yang kepadanya diberlakukan makna wasit.
Dan harap diingat bahwa mazhab empiris tak akan pernah mampu merumuskan hakikat/makna inti dari segala sesuatu. Termasuk hakikat wasit itu. Karena yang dia lihat cuma perkara sampingan aja. Atas dasar itu, jika pengetahuan ilmiah hanya dihentikan pada pengamatan inderawi semata, maka kita ini sesungguhnya tidak akan bisa berkata apa-apa tentang fenomena apapun yang ada di sekeliling kita. Termasuk Anda tidak akan bisa berkata bahwa “ini adalah wasit”. Apalagi menyebut bahwa “wasit ini telah berbuat curang.” Karena kecurangan itu sendiri bukan sesuatu yang bersifat inderawi!
Jika ada orang yang berkata: “wasit ini telah berbuat curang”, maka dia pasti akan menolak kontradiksinya, yang menyebutkan bahwa “wasit ini tidak berbuat curang”.
Ya.. Kira-kira bisa nggak Anda menyebut orang ini telah curang sekaligus tidak curang di waktu yang bersamaan? Ya jelas nggak bisa lah. Masa dibilang curang sekaligus nggak curang?! Tahu nggak kenapa akal kita nggak bisa menghimpun dua hal itu? Jawabannya, karena nalar kita sudah mengimani hukum non-kontradiksi.
Hukum yang menyatakan bahwa dua hal yang kontradiktif itu tidak mungkin saling terhimpun. Juga tidak mungkin saling terangkat. Salah satunya harus ada yang benar. Dan jika yang satu benar, maka yang lainnya pasti salah. Mustahil benar semuanya. Mustahil salah semuanya. Dan mazhab empiris lagi-lagi tak akan mampu membuktikan kemustahilan itu. Karena kemustahilan bukan sesuatu yang bersifat inderawi.
Tapi mazhab rasionalis bisa memastikannya!
Menyatakan pengetahuan rasional sebagai pengetahuan yang tidak ilmiah itu sama saja dengan meruntuhkan keabsahan pengetahuan empirik itu sendiri. Dan, sekali lagi, jika akidah Islam bersandar pada argumen rasional—dan argumen rasional itu terbukti sahih secara keilmuan—maka sangat masuk akal jika kita menyebutnya sebagai akidah ilmiah. Yakni akidah yang berbasis pada ilmu. Bukan penerimaan subjektif atau yang bersifat semu.
( Sholihul / berbagai sumber)