Centralinfomationasean.com-14/10/2024-Opini , “Buktikan secara rasional ( Khudhuri) bahwa saya sedang mengenakan kaos Arsenal.”
Ini contoh pertanyaan yang tidak ilmiah. Karena meminta bukti atas suatu pengetahuan yang tidak memerlukan bukti. Kalau Anda merasa aneh dengan permintaan di atas, maka itu tanda bahwa akal Anda masih sehat. Karena manusia normal pada umumnya nggak perlu bukti terkait sesuatu yang sudah jelas secara pasti.
Dalam epistemologi, pengetahuan inderawi itu masuk dalam kategori pengetahuan aksiomatik (ilm dharuri). Artinya, untuk membenarkan pengetahuan itu, kita tidak memerlukan bukti apapun selain pengamatan inderawi itu sendiri. Dia sudah jelas pada dirinya sendiri. Indera mengamati. Rasio kemudian membenarkan. Selesai. Nggak usah minta bukti lagi.
Kecuali kalau saya bilang: “Arsenal adalah tim terbaik liga Inggris.” Fans MU (meskipun lagi sengsara red.), Chelsea, City, apalagi Tottenham, kemungkinan nggak akan setuju dengan kesimpulan itu. Artinya pengetahuan kedua ini masuk dalam kategori pengetahuan spekulatif, yang sah untuk dimintai bukti.
Lalu bagaimana dengan pengetahun tentang Tuhan? Apakah sah untuk dimintai bukti? Ya sah. Dan karena Tuhan itu bersifat metafisik, maka jalan pembuktiannya juga harus melibatkan hukum metafisika.
Bukan berarti pengetahuan inderawi diabaikan sepenuhnya. Dia bisa dijadikan salah satu premis. Tapi dalam proses penarikan kesimpulannya tetap harus ada hukum metafisik, seperti halnya hukum sebab akibat.
Saya nggak pernah loh pak ketemu sama yang buat kaos .
Sama sekali nggak pernah. Tapi dengan nalar yang sehat saya bisa tahu, bahwa kaos ini pasti ada yang buat. Nggak mungkinlah ada kaos yang bisa menjahit dirinya sendiri. Di balik sesuatu yang dibuat pasti ada sosok yang membuat. Walau indera tak melihat, tapi keberadaannya bisa dipastikan oleh nalar yang sehat.
Kita tidak pernah berjumpa dengan pencipta alam semesta. Tapi sesuatu yang tidak terlihat kan bukan berarti tidak ada.
Akal kita bisa memastikan keberadaannya, melalui hukum sebab akibat yang sudah disepakati keabsahannya.
Kalau barang seperti kaos begini aja dikatakan ada pembuatnya, lantas apa masuk akal jika alam yang sedemikian dahsyat dikatakan telah mengadakan dirinya sendiri.
(M.Nuruddin/Sholihul)