Guru dan Solidaritas Utopia KemanusiaanBuka ruang Bagi Humanisme Totaliarian.

banner 120x600
banner 468x60

Centralinfomationasean.com-15/10/2024-Usai berbagi pengalaman mengenal Rama Mangun, mas Kunto moderator bertanya, Mba bagaimana bila Rama Mangun kita ajukan sebagai pahlawan nasional?

Meski kalimat ini berulang kali saya dengar sepanjang sarasehan, saya tergagap. Bukan tidak setuju.
Mendengar kata pahlawan, saya teringat saat saya bertanya lugu sekitar 28 tahun lalu. Pertanyaan saya mengapa Rama yang sastrawan dan arsitek memilih menjadi seorang Pastur, dan sebagai pastur saat itu juga tidak seperti umumnya pastur dengan kesibukan keagamaan ( formal).

banner 325x300

Waktunya habis untuk membantu rakyat miskin yang diperlakukan tidak layak sebagai manusia dan warga negara oleh penguasaa saat itu. Waktu itu Rama Mangun menjawab, “karena tanah di mana saya tumbuh adalah keluarga Katolik. Kita tidak bisa seutuhnya bisa memilih dilahir dari keluarga beragama apa’.

Ternyata untuk kalimat imi saya butuh waktu lama untuk memahami , bahwa dalam keyakinan agama Katolik, bahwa menjadi seorang pastur, tidak seutuhnya soal pilihan manusia, tapi ada unsur panggilan Tuhan).

Beliau paham bahwa saya saat itu tidak paham. Lalu beliau bercerita. ‘Ini saya hayati sebagai cara membayar hutang pada rakyat’. Memang hutang apa? Dalam hati saya.

Bercerita Rama mangun tentang pengalaman hidup yang sangat membekas, ketika bergabung menjadi tentang pelajar di masa revolusi kemerdekaan. Saat memenangkan pertempuran, para pejuang dielu elukan masyarakat di daerah Malang. Mayor Isdiman berbicara di depan para pejuang dan masyarakat.

“Kami bukan pahlawan. Tangan kami penuh darah”. Rama Mangun menambahkan, “pahlawan sesungguhnya adalah rakyat yang telah mengorbanan apa saja untuk negeri ini”.

Saya sangat menangkap penjelasan ini, karena kakek nenak dari garis Bapak dan Ibu saya dan keluarganya memiliki banyak kisah tentang episode awal kemerdekaan ini.

Tapi bagi saya menangkap spirit yang hanya dapat dipahami di luar cara pandang duniawi, yaitu keimanan yang lurus. “Iman adalah sesuatu yang berbeda dengan agama. Banyak orang secara formal sangaat agamis, tapi sikapnya tidak mencerminkan keimanan. Sementara ada orang-orang yang secara formal tidak beragama, tapi sikap hidupnya mencerminkan keimanan yang tulus”.

kalimat yang sangat mengesankan untuk saya saat itu diantara banyak perbincangan tentang sejarah agama-agama, hubungan agama dan negara dan diantara cerita persahabatannya dengan Gus Dur, yang dikatakan adalah, “agama memang membedakan, tapi iman pada Tuhan yang disebut dalam banyak sebutan, menyatukan manusia’.
Dulu Rama Mangun sempat menyampaikan, ‘Sejarah umat manusia selalu mengalami naik turun. Meski demikian tetap ada perkembangan dalam keadaban, karena manusia bisa belajar untuk keluar dari kondisi yang tidak manusiawi. Perdamian dan keadilan tidak datang dengan sendirinya, harus diusahakan.

Seperti saat ini, 25 tahun setelah meninggalnya Rama Mangun, kehiduan demokrasi di Indonesia kembali mengalami kemuduran, terutama karena masih tingginya korupsi, kolusi dan nepotisme. Kekerasan dalam berbagai bentuk masih belum teratasi. Pada konteks ini, hidup Rama Mangun, Gus Dur, Buya Syafii dan para guru bangsa..menawarkan banyak inspirasi, selayaknya mereka memiliki ruang dalam sanubari siapa pun yang merindukan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Saya yakin bahwa para guru bangsa ini adalah orang-orang yang telah mampu membebaskan diri dari kebutuhan akan pengakuan, mereka lebih bahagia ketika perjuangannya dilanjutkan. Kedisiplinan dalam menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan tak tergoyahkan.

Terimakasih kiriman Vinca, setelah 25 tahun tidak jumpa darat.

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *