Centralinfomationasean.com-17/10/2024- “Ya, Bu. Sulawesi membutuhkan suara di tengah gejolak ini. Dan aku akan menjadi suara itu.”
“Saudara-saudaraku!” serunya dalam sebuah pertemuan rahasia di Manado. “Kita bukan bangsa kuli! Kita adalah bangsa yang besar, yang berhak atas kemerdekaan!”Serunya.
Kata-katanya yang berapi-api mengobarkan semangat kemerdekaan di hati para pendengarnya. Namun, perjuangan tak selalu berjalan mulus. Ketika Jepang datang menggantikan Belanda, Sam harus berjuang lebih keras lagi.
“Kita harus tetap waspada,” Seruannya kepada para pejuang muda. “Jepang atau Belanda, penjajah tetaplah penjajah.”kobar Sam.
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berkumandang. Sam, dengan mata berkaca-kaca, tegap mengangkat bendera merah putih di tanah Sulawesi.
“Ini baru awal,” ujarnya pada para pengikutnya. “Kita harus mempertahankan kemerdekaan ini.”
Namun, Belanda tentu tidak membiarkan kemerdekaan itu dinikmati begitu saja. Mereka kembali melalui NICA, berusaha merebut kembali tanah jajahan mereka.
“Tidak!” teriak Sam lantang saat ditawari kerja sama oleh NICA.
“Lebih baik saya mati berdiri sebagai orang merdeka daripada hidup berlutut sebagai budak!”pekak Sam.
Keberaniannya membuat Sam ditangkap dan diasingkan ke Serui, jauh dari tanah kelahirannya. Namun, bahkan dalam pengasingan, semangatnya tak pernah padam.
Di sel yang pengap, Sam menulis dengan tangan bergetar:
“Perjuangan belum usai. Sulawesi, Indonesia, suatu hari nanti kau akan benar-benar merdeka. Dan aku akan terus berjuang hingga hari itu tiba.”pungkasnya.
(Ser/ sholihul)
(Sumber: Sejarah Nusantara’)