SOSOK JENDERAL TNI (ANM.) BASOEKI RACHMAT.

banner 120x600
banner 468x60

Centralinformationasean.com,29/11/2024) Sejarah, Kisah Basuki Rahmat ini erat kaitan dengan Kisah Kemarahannya Saat Rakyat Menyebut Aidit Sebagai Presiden
Dalam berbagai buku sejarah Indonesia kontemporer selalu dikisahkan peristiwa lahirnya Supersemar 1966 yang mengantarkan Jenderal TNI Soeharto meraih tampuk kepemimpinan tertinggi yaitu kursi kepresidenan. Dalam peristiwa ini ada tiga jenderal yang memegang peran penting karena keterlibatan mereka dalam mempengaruhi dan meyakinkan Presiden Soekarno untuk memberikan kewenangan tertulis yang sifatnya sangat luas kepada Menpangad Letjen TNI Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam rangka memulihkan keamanan dan ketertiban, serta menjamin keselamatan Presiden Soekarno, keluarganya, beserta seluruh ajarannya.

Ketiga jenderal itu adalah Menteri Veteran dan Mobilisasi Mayjen TNI Basoeki Rachmat, Menteri Perindustrian Brigjen TNI M. Jusuf, dan Pangdam Jaya Brigjen TNI Amirmachmud.
Jenderal Soeharto adalah orang yang tahu membalas budi. Ketiga jenderal ini pada akhirnya mendapat jabatan yang penting dalam pemerintahan dan kepada mereka disematkan bintang empat atau jenderal penuh yang merupakan pencapaian tertinggi dalam karir ketiganya sebagai tentara.

banner 325x300

Basoeki Rachmat dan Amirmachmud yang selama lebih dari dua dekade selalu bertugas sebagai tentara dipromosikan menjadi birokrat sipil yaitu menteri pada kabinet yang dipimpin Soeharto. Sebaliknya, M. Jusuf yang telah belasan tahun menjadi menteri pada era Soekarno ‘dikembalikan’ menjadi tentara dengan jabatan yang sangat prestisius,
Menhankam merangkap Panglima ABRI. Basoeki Rachmat yang jabatan terakhirnya di ketentaraan adalah Deputi III Panglima AD Urusan Khusus untuk waktu yang hanya beberapa bulan (menggantikan Mayjen TNI M.T. Harjono yang gugur dalam G30S) dipromosikan menjadi Menteri Dalam Negeri pada tahun 1966 dengan pangkat letnan jenderal (bintang tiga).

Namun secara mendadak ia meninggal dunia akibat serangan jantung ketika sedang memberikan sambutan di kantornya pada tanggal 9 Januari 1969. Ia segera ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dan pangkatnya dinaikkan menjadi jenderal penuh (bintang empat) secara anumerta.

Mayjen TNI Amirmachmud segera ditunjuk menjadi Menteri Dalam Negeri menggantikan Basoeki Rachmat dan terpaksa meninggalkan jabatan pentingnya sebagai Pangdam Jaya dan mendapat promosi pangkat menjadi letnan jenderal (bintang tiga).

Dari jabatan ini ia dipromosikan menjadi Ketua MPR / DPR RI dan pangkat jenderal bintang empat pun turun ke pundaknya. Baik Amirmachmud maupun M. Jusuf telah berpulang menyusul Basoeki Rachmat yang ditakdirkan hanya berusia 48 tahun itu.

Jenderal Basoeki Rachmat dimunculkan dua kali dalam film Pengkhianatan G30S/PKI dan film Djakarta ’66. Pada film yang pertama, Basoeki Rachmat dikisahkan tengah menghadap Panglima AD Letjen TNI A. Yani di kediamannya, beberapa jam sebelum Pahlawan Revolusi itu terbunuh oleh peluru pasukan yang hendak menculiknya. Dengan berseragam militer dengan pangkat bintang dua, waktu itu Jenderal Basoeki Rachmat menjabat sebagai Pangdam Brawijaya.

Ia menghadap Jenderal Yani untuk melaporkan peristiwa kekacauan di kantor Gubernur Jawa Timur di Surabaya yang diakibatkan oleh demonstrasi massa PKI yang mengobrak abrik kantor tersebut. Seorang mayor infantri bernama Sugianto diajaknya pula untuk menghadap Jenderal Yani karena perwira menengah ini menyaksikan peristiwa kekacauan yang terjadi. Jenderal Yani yang menerima laporan tersebut terlihat sangat serius dan memutuskan untuk mengajak serta Mayjen Basoeki Rachmat untuk melaporkan hal itu langsung kepada Presiden Soekarno.

Kebetulan pada pagi hari 1 Oktober 1965 itu, Jenderal Yani memang sudah dijadualkan untuk bertemu Presiden Soekarno di istana.
Hilangnya Jenderal Yani membuat nama Mayjen Basoeki Rachmat ikut masuk dalam bursa pencalonan sebagai Panglima AD bersama empat jenderal bintang dua lainnya yaitu Moersjid, Pranoto Reksosamodra, Soeharto, dan U. Roekman. Di mata Presiden Soekarno, tidak ada satupun di antara kelima mayor jenderal ini yang paling sempurna untuk menggantikan Jenderal Yani yang belum diketahui nasibnya. Dasman Djamalddin, penulis biografi Jenderal Basoeki Rachmat menyebutkan bahwa Basoeki Rachmat dinilai sering sakit oleh Presiden Soekarno (Dasman Djamaluddin 2008: 62). Buku Gerakan 30 September terbitan Sekretariat Negara (1994: 145) menggunakan istilah ‘berpenyakitan’ untuk menggambarkan kelemahan Mayjen Basoeki Rachmat.

Adapun Panglima AU Lasdya (U) Omar Dhani mengusulkan nama Basoeki Rachmat menjadi kandidat karena sebelumnya Presiden Soekarno berpendapat bahwa salah satu calon yaitu Mayjen Soeharto dinilai terlalu keras kepala (koppig). Soekarno menginginkan figur yang tenang (rustig) untuk menjadi Panglima AD. Basoeki Rachmat dinilainya gampang sakit kalau ada problem (Benedicta Soerodjo dan JMV Soeparno 2001: 72).
Pada film kedua, Djakarta ’66, figur Mayjen Basoeki Rachmat (yang diperankan oleh artis penyanyi alm. Rachmat Kartolo yang terkenal dengan hitsnya ‘Patah Hati’) lebih banyak dan lebih lama ditampilkan mengingat film ini memang khusus berkisah tentang lahirnya Supersemar.

Mayjen Basoeki Rachmat digambarkan hadir pada sidang kabinet pada pagi hari 11 Maret 1966 di Istana Merdeka dan menyaksikan bagaimana Soekarno meninggalkan sidang karena psikologisnya terguncang setelah menerima laporan tertulis Brigjen TNI Saboer, Komandan Resimen Tjakrabirawa, yang menyebutkan bahwa di luar Istana Merdeka banyak pasukan tak dikenal berkeliaran. Presiden kemudian meninggalkan Istana Merdeka dan menyerahkan sidang untuk dilanjutkan oleh Waperdam dr. J. Leimena yang tak lama memimpin sidang.

Jenderal Basoeki Rachmat kemudian terlihat berbincang dengan Jenderal Amirmachmud dan Jenderal M. Jusuf dan ketiganya sepakat untuk menghadap Panglima AD Jenderal Soeharto yang tidak hadir dalam sidang kabinet itu dengan alasan sakit influenza berat. Setelah mendapat restu dari Soeharto untuk menghadap Presiden Soekarno ke Istana Bogor, maka berangkatlah ketiga jenderal ini ke Bogor dengan tujuan untuk meyakinkan Soekarno agar tidak merasa ditinggalkan oleh Angkatan Darat. Kenyataannya kita ketahui bersama bahwa di dalam film Djakarta ’66, yang terjadi kemudian adalah upaya untuk membujuk dan meyakinkan Soekarno agar memberikan perintah tertulis kepada Letjen Soeharto.

Melalui serangkaian perdebatan yang cukup lama, ketiga jenderal ini berhasil menjalankan misinya. Soekarno menandatangani Supersemar dan menjelang malam sebelum ketiga jenderal ini Kembali ke Jakarta, ia mengajak mereka untuk makan malam bersama. Ketiga jenderal ini menolak halus dengan alasan hari telah menjelang larut malam dan perjalanan ke Jakarta akan memakan waktu yang tidak sebentar. Ketiganya segera menemui Soeharto untuk menyerahkan Supersemar yang hingga kini keberadaan naskah aslinya masih menjadi misteri.

Sebagai Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Pembangunan I, Letjen TNI Basoeki Rachmat melakukan konsolidasi dan rehabilitasi di berbagai daerah dalam rangka pembangunan di daerah-daerah. Ia sering melakukan kunjungan kerja ke suatu wilayah dengan mengajak serta beberapa gubernur ke daerah yang ia kunjungi itu. Namun ada suatu peristiwa menarik dalam kunjungan kerjanya ke Jawa Timur pada tahun 1968.

Ketika itu Basoeki Rachmat mengajak serta Gubernur DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur ke salah satu daerah yang pernah menjadi basis perlawanan sisa-sisa anggota PKI yaitu Blitar Selatan. Waktu itu diperkirakan bahwa di Blitar Selatan sudah tidak ada lagi antek-antek PKI di Jawa Timur.

Dari Surabaya, rombongan Menteri Dalam Negeri berangkat pada pukul 16.00 dan tiba di Blitar Selatan setelah maghrib. Di sana Basoeki Rachmat mengadakan dialog dengan penduduk Blitar Selatan dalam Bahasa Jawa. Dialog antara Basoeki Rachmat dengan penduduk setempat berlangsung dalam Bahasa Jawa sebagai berikut (Dasman Djamaluddin 2008: 104-105):

Basoeki Rachmat: “Sedherek-sedherek” (Saudara-saudara)
Penduduk: “Inggih” (Ya)
Basoeki Rachmat: “Kulo niki, nami kulo Basoeki Rachmat” (Saya ini, nama saya Basoeki Rachmat)
Penduduk: “Inggih” (Ya)
Basoeki Rachmat: “Jabatan kulo, Menteri Dalam Negeri” (Jabatan saya, Menteri Dalam Negeri)
Penduduk: “Inggih” (Ya)
Basoeki Rachmat: “Menteri Dalam Negeri Niku, pembantune Presiden” (Menteri Dalam Negeri itu, pembantu Presiden)
Penduduk: “Inggih” (Ya)
Basoeki Rachmat: “Lah, Presidene sinten?” (Lah, Presidennya siapa?)
Penduduk: “Lah, sopo neh, nek gak AIDIT” (Loh, siapa lagi kalua bukan AIDIT)
Sebagai orang Jawa Timur dan bekas Pangdam Brawijaya, jawaban penduduk Blitar Selatan itu tentu saja ibarat menampar wajah Basoeki Rachmat. Wajahnya terlihat memerah. Ia merasa sangat malu dan marah karena rupanya unsur-unsur PKI masih ada di sana.

Malam itu juga di tengah rasa lelah dan kantuk, Basoeki Rachmat mengumpulkan apparat pamong praja mulai dari bupati, camat, lurah, kepala desa, ketua RT / RW di Hotel Tandjung, Batu, Malang. Ia memberikan instruksi singkat untuk menuntaskan masalah PKI.
Gubernur Jawa Tmur Muh. Noer yang kemudian melaporkan kejadian itu kepada Pangdam Brawijaya Mayjen TNI M. Jasin akhirnya sepakat untuk memenuhi permintaan Pangdam Brawijaya berupa uang sebesar Rp 10 juta untuk dapat menyelesaikan persoalan PKI di Blitar Selatan. Jenderal Jasin menjanjikan untuk menumpas sisa-sisa PKI di Blitar Selatan dalam waktu 3 bulan. Untuk itu, ia menunjuk Komandan Brigade V Kolonel Inf. Witarmin untuk memimpin operasi militer dengan tugas menghancurkan sisa-sisa PKI di Blitar Selatan selama 3 bulan atau ia akan dicopot dari jabatannya jika gagal (Dasman Djamaluddin 2008: 106). Operasi inilah yang dinamakan Operasi Trisula yang kelak dibuatkan film juga oleh Orde Baru.

Bagi orang jawa Timur khususnya penduduk Surabaya, nama Basoeki Rachmat adalah nama yang cukup populer karena diabadikan menjadi salah satu nama jalan protokol di Surabaya. Ia adalah satu di antara tiga nama jenderal yang berasal dari rumpun Brawijaya yang namanya diabadikan menjadi nama jalan utama di Surabaya selain Mayjen Soengkono dan Mayjen H.R. Mohammad (ayah kandung alm. Letjen TNI (Purn) Himawan Soetanto). Dikatakan sebagai rumpun Brawijaya karena pada masa revolusi dulu ketiganya berjuang di Jawa Timur yang merupakan wilayah kerja Kodam Brawijaya saat ini.
Basoeki Rachmat memang orang Jawa Timur tulen, ia dilahirkan di Desa Senori, Tuban oada 14 November 1921. Pendidikan dasar kemiliterannya diperoleh pada masa pendudukan Jepang dengan bergabung pada Renseitai atau Pembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1943. Puncak karir militernya adalah sebagai Pangdam Brawijaya antara tahun 1962 – 1965. Setelah Mayjen Soeharto dilantik menjadi Panglima AD menggantikan alm. Jenderal Anumerta A. Yani, Basoeki Rachmat ditariknya menjadi Deputi III di Mabesad untuk waktu yang sangat singkat karena kurang dari setahun. Jabatannya sebagai Pangdam Brawijaya diserahterimakan kepada Brigjen TNI Sunarijadi. Basoeki Rachmat kemudian terus menerus menjadi menteri hingga akhir hayatnya pada tanggal 9 Januari 1969.
Presiden Soeharto memberikan penghormatan khusus kepada mantan anak buahnya yang berjasa melahirkan Supersemar ini. Ia tidak saja melayat ke rumah duka di Jl. Besuki No. 11 dan menyempatkan diri untuk memegang betis almarhum dengan sikap bertafakur, tetapi juga menyatakan kesediannya menjadi Inspektur Upacara pemakaman jenazah Basoeki Rachmat di TMP Kalibata pada keesokan harinya, 10 Januari 1969. Dalam perjalanan menuju ke TMP Kalibata, peti jenazah Basoeki Rachmat diletakkan di atas sebuah panser, hal yang mengingatkan kita ketika jenazah para Pahlawan Revolusi dulu akan diberangkatkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Jika dulu tiap peti jenazah Pahlawan Revolusi dikawal oleh seorang jenderal di atas panser, maka peti jenazah Basoeki Rachmat dikawal oleh 4 jenderal yaitu Wakil Pangad Letjen TNI Umar Wirahadikusumah, Menteri Transmigrasi Letjen TNI Sarbini, Kepala Staf Hankam Letjen TNI M.M. Rachmat Kartakusumah, dan Anggota MPRS Letjen TNI Soedirman (ayahanda mantan Gubernur Jawa Timur alm. Mayjen TNI (Purn) Basofi Soedirman). Setibanya di TMP Kalibata peti jenazah itu diusung oleh para jenderal yang merupakan keluarga besar Korps Brawijaya antara lain Mayjen TNI Soemitro (kelak Pangkopkamtib), Mayjen TNI S. Sokowati, Mayjen TNI Oetojo Oetomo, Mayjen TNI Wahono, Mayjen TNI Kartidjo, dan Brigjen TNI Mud’har Amin (Dasman Djamaluddin 2008: xvi – xix).
Basoeki Rachmat kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dan pangkatnya dinaikkan menjadi Jenderal TNI Anumerta. Posternya hingga kini banyak dipasang di berbagai ruang kelas khususnya di berbagai Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.

Keterangan:

1. Pangdam Brawijaya Basoeki Rachmat bersama istri dan prajuritnya (Koleksi Pribadi Donny’s Personal Library);
2. Pangdam Brawijaya Brigjen TNI Basoeki Rachmat berserta istri ketika menyambut kedatangan Presiden Soekarno di Bandara Surabaya;
3. Pangdam Brawijaya Mayjen TNI Basoeki Rachmat mendampingi Pangad Letjen TNI A. Yani ketika melakukan kunjungan kerja ke Jawa Timur;
4. Pangdam Brawijaya Mayjen TNI Basoeki Rachmat (berpakaian preman) menyaksikan Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto memerintahkan Kapten Soekarbi, Wadan Yon 530, untuk menarik pasukannya dan bergabung ke Kostrad pada 1 Oktober 1965;
5. Mayjen TNI Basoeki Rachmat bersama Jenderal A.H. Nasution pada tahun 1966;
6. Mayjen TNI Basoeki Rachmat menerima delegasi mahasiswa anggota KAMI yang menuntut Tritura, 1966;
7. Foto Mayjen TNI Basoeki Rachmat hadir menyaksikan persidangan Mahmilub terhadap eks Waperdam I dan Menlu dr. Soebandrio;
8. Ibu Tien Soeharto memeluk istri alm. Basoeki Rachmat ketika melayat ke rumah duka di Jl. Beskui No. 11;
9. Para jenderal mengusung peti jenazah alm. Basoeki Rachmat ketika memasuki halaman TMP Kalibata, 10 Januari 1969;
10. Pemeran Mayjen TNI Basoeki Rachmat dalam film G30S/PKI pada adegan menghadap Pangad Letjen A. Yani;
11. Alm. Rachmat Kartolo selaku pemeran Mayjen TNI Basoeki Rachmat dalam film Djakarta ’66;
12 s/d 14. Biografi alm. Jend. TNI Anumerta Basoeki Rachmat.
Sumber bacaan:
1. Buku Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar karya Dasman Djamaluddin, cetakan 1998 dan 2008.
2. Buku Buku Siapa Dia? Perwira Tinggi TNI-AD karya Harsja Bachtiar, 1988.
3. Buku Sangkur Adil Pengupas Fitnah Chianat karya Ali Said dan Durmawel Ahmad, 1967.
4. Buku Otobiografi Jenderal TNI (Purn) A.H. Nasution Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 7, 1989.
5. Buku Tuhan Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku (Pledoi Omar Dhani) karya Benedicta Soerodjo dan JMV Soeparno, 2001.
( Sholihul)

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *