Centralinformationasran.com, 30/11/2024, Tradisi, Ibuku mengisahkan Tentang Moyangnya ,
Saat usianya 12 tahun, sesudah ujian pelulusan SD, mamaknya, ompungku meminta ibuku berhenti sekolah. Kata ompungku, biarlah ito²mu yang maju (pendidikannya), kelak mereka berhasil, mereka akan mengingatmu.
Menangislah ibuku seharian di pancuran sambil mencuci baju keluarganya. Sengaja menangis disana agar airmatanya samar karena air cucian dan pancuran. Dia pulang setelah dalam keadaan ikhlas dan menerima dirinya tertambat di tenun untuk menyelesaikan sekolah abang adiknya laki².
Suatu waktu, kala ibuku diajari ompungku marragidup, tak sengaja kakinya menendang tuak takkasan. Tuak takkasan adalah bagian dari belajar marragidup. Murkalah ompungku, mamakku diseret dari apitan tundalan dan hapit, dijambak, dipukuli, ibuku kabur entah kemana kala itu. Ompungku pun juga pergi dari rumah meninggalkan pangarapotan mereka begitu saja. Rumah sangat hening seperti kuburan. Semua orang tahu ompungku boru Sim itu keras, diktator. Anak cucunya takut padanya kecuali aku.
Ompungku punya namboru sibaso, kesanalah ompungku mengadukan insiden tuak takkasan tumpah itu. Dengan tersenyum tanpa membukakan pintu konon, namboru sibaso itu berkata, “pulanglah, dia lebih besar darimu.” Ompungku pulang, mencari mamakku, membujuk raganya, membujuk rohnya, lama sekali katanya ibuku bisa diajak berdamai.
Ibuku tak langsung jadi parragidup. Prosesnya memang begitu. Sebelum seseorang menikah dan menjadi ibu, konon pantang menenun ragidup 100%. Tapi manusia bisa berencana, Tuhanlah yang menjadikan.
Masih di usia belasan, mungkin 16 tahun, cucu panggoaran dari tulang sulungku lahir. Ompungku yang teramat bangga mempunyai cucu berangkat ke Pekanbaru meninggalkan mamakku dan 4 adiknya yang dalam masa pertumbuhan. Yang konon makannya seperiuk besar sekali makan. Habislah cadangan beras mamakku dan adik²nya sebelum ompungku pulang dari Pekanbaru. Mamakku pergi meminjam beras ke amangtuanya, tak dikasi, malah mamakku dikata-katai. Tak terima dengan kemiskinan dan penindasan. Mamakku memulai ragidup pertamanya dan berhasil. Supaya ragidup itu bisa terjual dan tidak diselidiki, mamakku mengutus namborunya menjualkan ke pasar. Begitulah seterusnya. Dan saat ompungku pulang, lalu membaca ragidup mamakku, ompungku hanya diam dan mengingat visi namboru sibasonya, dia lebih besar darimu, ibuku tumbuh dalam ragidup melebihi ompungku.
Ketika aku yang mau marragidup, sejarah terulang kembali. Trauma mamakku menjadikannya orang yang sama dengan mamaknya itu, ompungku. Tapi aku bukan mamakku, aku tidak punya trauma. Mamakku tidak membeda-bedakan pendidikan kami.
Siapa yang mau maju, semampunya mamakku sekolahkan. Pula selama kami tinggal bersama, mamakku tidak pernah mengatakan agar aku mengalah pada siapapun karena gendernya. Itulah modalku melawan ketularan kekejaman mamaknya itu.
Pendidikanku dan didikannya kepada kami. Mamakku memang menuai kedemokratisannya pada anak, anaknya tumbuh jadi pelawan yang sempurna kepadanya.
Aku tidak mau tunduk ke mamakku dalam artian ketundukan yang tak logis, ketundukan yang berasal dari ketakutan.
Maka aku mencari uang agar bisa membuat ibuku mabuk dalam kebahagiaan, mabuk dalam lautan makanan enak yang tidak pernah dinikmatinya meskipun uang dan hartanya banyak, mamakku tak pandai membelanjakan uangnya dan memanjakan dirinya. Kemabukan yang akan membuat pelajaranku mulus marragidup. Ya secara emosi, pelajaran itu lancar tapi namanya ragidup tidak ada yang mudah, itu bukan tenun biasa yang hanya perlu skill.
Lalu akupun jadi parragidup, di ragidup ketiga, ibuku seperti ibunya berkata kepadaku, “kau lebih besar dariku.” Meski didepan ibuku aku cengengesan. Tapi sepulang dari rumah ibuku aku perlu menenangkan diri, menatap ke langit, menengadahkan tanganku, mengucap syukur, “Tuhan, pohon ragidup di keluarga ini tumbuh besar dan makin menjulang tinggi. Aku ingin anakku juga jadi parragidup satu hari nanti, kapanpun dia siap.”
Ragidup ompungku tidak pernah tercatat, ragidup mamakku sebagian tercatat siapa yang mengadopsi, ragidupku semua tercatat, bahkan diuloskan ke siapa aku tahu. Yang memakai dan memesan ragi hidupku juga bukan orang biasa, yang terakhir beritanya, satu dari ragidup tenunanku di uloskan ke bapak Luhut Binsar Panjaitan.
Dari kisah ini aku bersaksi, aku Uli Artha Panggabean dan dua generasi terdahulu adalah orang² yang dihidupi ulos. Makanan kami berasal dari ulos.
Ilmunya yang merupakan warisan tak benda itulah yang terus menerus membuatku kami tidur dalam kondisi perut kenyang, tidak pernah merasakan kelaparan.
Lebih dari makan, aku sendiri punya pengaruh karena pertemananku dengan para pemesan dan pengadopsi tenunanku, baik ulos maupun sengka. Dari pengaruh itu, aku bisa mendapatkan dana untuk mengadakan pelatihan dan diskusi agar pertenunan Silindung bangkit dari mati surinya.
Dulu ibuku diajar dalam kekerasan, aku diajar dalam kemabukan, sekarang aku yang mengajar dalam kesadaran penuh bahwa ulos ini adalah dalan ni ngolu (nafkah) dan siapa saja berhak menerima warisan ini jika dia layak. Catat ya, jika dia layak.
Selamat hari ulos kawan² partonun, kawan kawan praktisi ulos dan adat, kawan kawan akademisi dan kawan di seluruh dunia.
(Sholihul)