Centralinformationasean.com, Filsafat, Dasar Asumsi merupakan hal-hal yang dianggap benar oleh filsuf-aliran sehingga argumentasi yang diungkapkan berlaku.
Asumsi bisa tersurat, yakni diungkapkan oleh filsuf-alirannya sendiri, dan bisa pula tersirat, yakni asumsi tersembunyi. Membongkar asumsi tersirat merupakan hal yang cukup terbilang seru karena membutuhkan proses interpretasi dan konsiderasi yang kompleks.
Meski demikian, menguji asumsi tersurat pun juga tidak kalah seru sebab terkadang apa yang filsuf ucapkan tidak sama dengan apa yang lazim dipahami.
Dengan mengeksplorasi asumsi ini kita dapat mengubah perspektif kita dalam melihat argumentasi filsuf-alirannya maupun problem filsafatnya.
Korelasi merupakan hubungan internal di dalam dan di antara argumentasi si filsuf-aliran sendiri.
Korelasi sebagai hubungan internal argumentasi merupakan hubungan antara premis-premis dan kesimpulan secara internal dalam argumentasi sang filsuf-aliran, yakni terkait sistem logika, penyimpulan, maupun penalaran yang digunakan sang filsuf-aliran.
Selain itu, korelasi juga dapat dimaknai sebagai hubungan antar argumentasi si filsuf-aliran.
Filsuf-aliran biasanya tidak hanya memiliki satu argumentasi: filsuf-aliran memiliki banyak argumentasi baik untuk satu problem filsafat tertentu maupun tersebar di banyak problem filsafat.
Kita dapat mencari hubungan atau keterkaitan di antara argumentasi tersebut sehingga juga memperlihatkan kaitan antar-problem filsafat.
Selain itu, kita juga dapat memahami pola pikir filsuf-aliran secara utuh dengan memperlihatkan korelasi antar argumentasi filsuf-aliran tersebut.
Konsekuensi, salah satunya, merupakan hal-hal yang menjadi poin dalam menjawab sebuah problem filsafat. Namun, konsekuensi juga dapat berupa efek lain dari argumentasi yang diungkapkan oleh filsuf-aliran. Dengan demikian, kita dapat mengeksplorasi apa saja konsekuensi yang mungkin belum diungkap maupun dipikirkan oleh sang filsuf-aliran, baik terkait problem filsafat yang sama, maupun terkait problem filsafat yang lain.
Dari sini dapat dipahami konsekuensi pembongkaran ini untuk model konstruksi evaluatif dan model konstruksi kebaruan.
Dalam konstruksi evaluatif, pembongkaran yang dilakukan akan lebih kompleks dengan melibatkan lebih dari satu filsuf-aliran. Hal ini akan menunjukkan bagaimana perdebatan filosofis berlangsung, di mana letak kesepakatan maupun ketidaksepakatan dari pemikiran filsuf-filsuf yang diteliti, baik pada argumentasi, asumsi, korelasi, maupun konsekuensinya. Harapannya, peneliti model kedua akan memahami pola-pikir banyak filsuf secara mendalam (bahkan yang bertentangan), yakni pola pikir multi-perspektif.
Perlu dipahami bahwa pada konstruksi evaluatif, peneliti tidak hanya dapat mengambil perdebatan filsuf yang secara aktual terjadi, namun peneliti juga dapat membenturkan setidaknya dua pandangan filsuf-aliran meski secara aktual mereka tidak berdebat. Hal ini menjadi sangat seru dan kompleks pada prosesnya, peneliti dapat mengeksplorasi benturan-benturan filosofis di antara filsuf-aliran dan memahami secara mendalam benturan-benturan tersebut berikut konsekuensinya.
Terkait konstruksi kebaruan, fokusnya adalah perihal pemecahan problem filosofis oleh sang peneliti. Skill berpikir multi-perspektif pada model sebelumnya juga diterapkan pada model ini yang kemudian dibawa lebih jauh untuk berupaya memecahkan sebuah masalah filsafat maupun turunannya.
Peneliti pada model ketiga ini belajar berargumentasi secara mandiri dan merespon berbagai argumentasi filsuf yang telah ada, yang juga hendak memecahkan problem yang sama. Peneliti dapat merekonstruksi pandangan lama, dengan cara memperkuat argumentasi pandangan lama sehingga menjadi konstruksi argumentasi baru khas peneliti; peneliti dapat pula mengonstruksikan pandangan baru dari nol sekiranya semua pandangan lama telah direspon dan dirasa tidak memadai oleh peneliti; dan peneliti mau eklektik pun tidak masalah, yakni merekombinasi pandangan-pandangan lama yang sekiranya kompatibel sehingga menjadi argumentasi baru. Peneliti di sini bebas berargumentasi, karena tujuan dari model ketiga ini adalah menjadi filsuf.
Terdapat tiga model penelitian (Ahnaf, 2024b): model pertama fokus pada membedah pola pikir filsuf-aliran yakni bagaimana ia berfilsafat, model kedua fokus pada mengevaluasi perdebatan filosofis, dan model ketiga fokus pada memecahkan masalah. Untuk memperjelas, saya (Ahnaf, 2024a) beri nama untuk masing-masing model: model pertama adalah model konstruksi analisis; model kedua adalah model konstruksi evaluatif; dan model ketiga adalah model konstruksi kebaruan. Penamaan tersebut terinspirasi dari taksonomi Bloom (Krathwohl, 2002). Dapat diperhatikan, cukup jelas bahwa model pertama bukanlah sekadar deskripsi.
Hal yang tampak dari berfilsafat adalah berargumentasi untuk menjawab atau memecahkan problem filsafat.
Argumentasi disusun oleh filsuf-aliran sedemikian rupa sehingga dari premis-premis yang diberikan dapat ditarik beberapa kesimpulan yang berusaha menjawab sebuah problem filsafat. Namun, terdapat hal yang tidak tampak dalam berargumentasi.
Hal yang tidak tampak dalam berargumentasi salah satunya adalah asumsi, korelasi, dan konsekuensi lanjutan dari argumentasi yang diungkapkan. Model konstruksi analisis tidak hanya mengenumerasi poin-poin, premis-premis, maupun kesimpulan-kesimpulan yang diungkapkan oleh filsuf-aliran, tetapi juga harus membongkar asumsi, korelasi, maupun konsekuensi logis-filosofis dari argumentasi filsuf-aliran tersebut sehingga peneliti pada model ini paham betul bagaimana pola pikir dari filsuf-aliran yang diteliti dan juga bagaimanametode filsuf-aliran tersebut dalam berfilsafat. Model penelitian ini bagi saya adalah level pertama dalam menjadi filsuf, yakni memahami bagaimana filsuf berfilsafat.
(Sholihul)