KELUHURAN NILAI NILAI AJARAN SERAT NITISRUTI: MENENTRAMKAN HATI.

banner 120x600
banner 468x60

Centralinformationasean.com, 1/12/2024, Ajaran Jawa, Dalam Serat Nitisruti adalah sebuah naskah kuno karangan Pangeran Karanggayam dari Pajang, yang selesai ditulis pada tahun 1612 dan berisi petuah-petuah dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kitab ini segala hal yang menyangkut tata karma orang Jawa dibahas.

banner 325x300

AJARAN bagi para Raja Jawa yang diberikan oleh Pangeran Karanggayam adalah ajaran meraih ketenteraman dengan ilmu pertahanan dan keamanan. Syarat utamanya adalah seorang pemimpin harus bisa menciptakan kondisi ketentraman hati rakyat, sehingga negeri kuat dan aman.

Ajaran utama ini tertumpu pada pengendalian nafsu seorang pemimpin seperti dijabarkan dalam bait ini.

“Yeku tetep wong murka sawukir, yen sira mangkono iya mangsa den andela maneh, babasane sapa ta kang bangkit, amereki kori. Myang warangsasa anggung”.

Artinya, jika orang semacam ini adalah orang yang serakah segunung. Kalau demikian adanya, dia tidak mungkin akan dipercaya lagi. Ibaratnya siapakah yang mau mendekati pintu yang telah dimakan rayap?

Sanepan (perumpamaan) yang dimaksud Pangeran Karanggayam dalam bait di atas menyoal sosok pemimpin yang tak bisa mengendalikan nafsu angkaranya dan serakah. Pemimpin semacam ini sangat rentan membuat negara goyah. Akibatnya ketentraman tidak terjaga, pertahanan dan keamanan negara sangat rapuh seperti pintu yang digerogoti rayap.

Nama asli Pangeran Karanggayam adalah Pangeran Tumenggung Sudjonopuro, yang jika dirunut silsilahnya memiliki hubungan kekerabatan dengan Pujangga Jawa tersohor yakni Raden Ngabehi Ronggowarsito.

Nasihat untuk menjadi manusia yang memiliki hati seluas samudra, kaya rasa maafnya, selalu ramah, akhirnya mampu menentramkan hati sesama manusia, sesama makluk Tuhan. Dengan sikap demikian, maka seorang pemimpin akan menjadi sumber segala tata krama, sehingga sudah sewajarnya kalau dicari, didengarkan, dan ditiru sebagai teladan.

“Ulah budi udaling lelungit, sira den waspaos. Kudu awas waskitha ing tyase, wruh samuning panuksma kang remit, namarma rasandi, saduning ri pudur”

Artinya seorang pembesar negara sebelum mengeluarkan sesuatu yang termasuk rahasia negara haruslah, mengolah budi dan pekertinya dulu.

Sebelum menjelaskannya pada rakyat atau khalayak, seorang pemimpin haruslah senantiasa waspada, tetap awas dan tajam perasaannya. Juga mengetahui segala sesuatu yang rumit dan dapat menyimpan rahasia yang memang tidak tepat diungkapkan pada khalayak.

Dalam tradisi Jawa ada cara tepat dalam mengolah budi dan pekerti, olah rasa dengan semedi dan mematikan raga. Seperti ungkapan dalam bait berikut:

“Kurang guling ing nalikeng ratri, den mindeng semadi, sinahua lampus”

Artinya, kurangi tidur di waktu malam, sering bersemadi memusatkan pikiran, jiwa, dan raga, serta ‘belajar mati’, artinya menyiapkan diri sewaktu-waktu akan meninggal.

Selanjutnya, keutamaan seorang pemimpin untuk pertahanan dan keamanan adalah tahu cara menggunakan serta menerapkan peralatan apa saja. Dalam konteks kekinian, tentunya peralatan itu bukan hanya senjata semata, bisa juga teknologi.
Selain kemampuan menggunakan peralatan tersebut, ada yang lebih penting lagi yakni kemampuan menerima isyarat Sang Raja, si pemimpin utama sebagai nasehat utama. Jangan sampai sesat pemikiran, meski sudah dikatakan pandai berbagai ilmu pengetahuan.

Lebih jauh, nasehat Pangeran Karanggayam menyebutkan bahwa untuk mengetahui isyarat Raja, seorang pemimpin bisa olah rasa hingga tahu tabir hakikat Yang Maha Agung. Jangan sampai meninggalkan kerajinan dan ketekunan sehingga semuanya berakhir baik.

Selain itu, seorang pemimpin jangan sampai mudah terpikat kepada hal-hal yang menyenangkan hati, harus selalu awas. Seperti orang baik yang bersembunyi, meskipun tidak kelihatan tetapi selalu memancarkan bau harum. Nasehat ini tertuang dalam bait di bawah ini.

“Lir manekung ameku samadi, den kongsi udani, Dating Hyang Mahaagung. Kongsi prapteng wekasane keksi, karsaning Hyang Manon, pindha carma ingkukir bineber, munggwing kelir den kongsi udani, sasolahing ringgit, aywa sah dinulu”

Artinya, maka itu rajinlah mesu budi, bersemedi, hingga dapat mengetahui Hakekat Yang Maha Agung. Sampai tiba saat dapat melihat kehendak Yang Kuasa, kelihatan seperti gambar terukir dan dibeberkan dalam warna, sampai mengetahui pola gerak orang, tanpa melihatnya.

Menyoal pengendalian diri ketika terpojok, saat ketahuan kesalahannya, seorang pemimpin jangan sampai menjadi bingung kemudian tidak lagi bisa melihat hal yang baik. Jangan sampai kemudian buta budi bahasanya..
“De kang dadi kuciwaning abdi, bilih tuna budi, bodho buteng pengung”

Artinya, seperti halnya abdi, maka yang menjadi kekurangan maupun kesalahan bagi seorang abdi, jika kurang baik budinya, ia akan menjadi bodoh, lekas marah, dan dungu. Pembesar negara seperti ini, di depan Raja akan terus-menerus bengong karena hatinya sangat sesat dan lupa.

Pada nasihat ini, Pangeran Karanggayam lebih menekankan pada kemampuan seorang pemimpin untuk menjaga kerukunan dengan rekan-rekannya. Hal itu sangat penting bagi pertahanan dan keamanan agar tidak muncul masalah dari dalam.

“Ing tyas den miratos, ngilangena sakserik ing ngakeh. Ngayemana manahing sasami, sasamining ngabdi. Priyen raket rukun. Prihen raket rukun”

Artinya, di dalam hati siap sedia untuk menghilangkan rasa sakit hati dan ketidakpuasan banyak orang, dapat menenangkan dan menenteramkan hati kawan, supaya dapat dekat, rukun dalam pergaulan.

Seorang pemimpin kiranya selalu dapat menghilangkan keinginan serakah dan wajah pun harus selalu ramah, agar senantiasa tenang dan tetap cerdas serta memperhatikan segala pesan.

Serat Nitisruti ini menerangkan bahwa jangan sampai melupakan hal-hal yang dilarang, serta mengingat ajaran-ajaran budi dari leluhur.

Diharapkan, seorang pemimpin bisa menbawa dirinya agar menjadi teladan bawahannya dan menjadi kharisma di negeri tetangga. Ajaran ini tertuang dalam bait ini.

“Pra linangkung muwah among tani, ingkang andhap asor, ingesoran sasolah bawane, anor raga dening anuruti saosiking janmi, lawan wacana rum.”

Artinya, orang-orang besar maupun para petani yang sifatnya merendah diri, semuanya terungguli dalam segala tingkah lakunya. Teruslah melatih jiwa dan raga dengan mengikuti dan meneliti pola tingkah manusia, disertai tutur kata yang manis.

Ajaran terakhir dari Pangeran Karanggayam bagi seorang pemimpin, lebih mengedepankan keluasan hati. Artinya, seorang pemimpin harus bisa menjadi manusia yang memiliki hati seluas samudera.

Pemimpin demikian ini adalah pemimpin yang kaya maafnya, senantiasa ramah, kemudian akan melahirkan ketentraman hati sesama manusia.

Diharapkan dengan sikap sedemikian ini, seorang pemimpin akan menjadi sumber segala tata krama.

“Solah tingkah karem tyas tan yukti, satemah salah ton, tilar tatakramane rinemeh, yen mangkana wekasaning wuri, tan wun sira keni, kinembong ambek dur.”

Artinya, pola tingkah senang terhadap hal-hal yang kurang baik itu akhirnya akan kelihatan juga, sebab tata krama selalu direndahkan. Jika demikian, akhirnya manusia akan penuh dengan watak yang jahat.

Pitutur di atas adalah pamungkas dari Pangeran Karanggayam, mengingatkan agar seseorang itu mau berlomba-lomba mengejar kebajikan.

Berikut ini kutipan salah satu pupuh yakni Pupuh Pucung di dalam Serat Nitisruti, yang khusus mengajarkan tentang cinta kasih terhadap sesama.

01.
Kang sinebut ing gesang ambeg linuhung,
kang wus tanpa sama,
iya iku wong kang bangkit,
amenaki manahe sasama-sama.

(Yang disebut memiliki sifat luhur dalam hidup
yang tidak ada tandingannya,
yaitu orang yang bisa membangkitkan,
menyenangkan hati sesama manusia)

02.
Saminipun kawuleng Hyang kang tumuwuh,
kabeh ywa binada,
anancepna welas asih,
mring wong tuwa kang ajompo tanpa daya.

(Sesama makhluk Gusti yang Hidup,
semua jangan dibeda-bedakan,
tanamkan rasa welas asih,
terhadap orangtua yang jompo tanpa daya)

03.
Malihipun rare lola kawlas ayun,
myang pekir kasiyan,
para papa anak yatim,
openana pancinen sakwasanira.

(Disamping itu anak terlantar juga dikasihi,
juga terhadap kaum miskin,
anak yatim yang papa,
peliharalah se-kuasamu)

04.
Mring wong luput den agung apuranipun,
manungsa sapraja,
peten tyase supadya sih,
pan mangkana wosing tapa kang sanyata.

(Terhadap orang yang salah berilah ampunan yang besar,
manusia satu negara,
ambillah hatinya supaya muncul asih tresno,
Hal seperti itu adalah inti bertapa yang senyatanya)

05.
Yen amuwus ywa umres rame kemruwuk,
brabah kabrabeyan,
lir menco ngoceg ngecuwis,
menek lali kalimput kehing wicara,

(Kalau ngomong jangan terlalu banyak bicara,
karena banyak yang terganggu,
seperti burung menco yang ngecuwis,
lupa diri karena banyak bicara)

06.
Nora weruh wosing rasa kang winuwus,
tyase katambetan,
tan uninga ulat liring,
lena weya pamawasing ciptamaya.

(Tidak mengerti apa yang diomongkan,
karena hatinya tertutup,
tidak memahami pasemon,
tidak hati-hati terhadap pola pikirnya)

07.
Dene lamun tan miraos yen amuwus,
luwung umendela,
anging ingkang semu wingit,
myang den dumeh ing pasmon semu dyatmika.

(Kalau tidak bisa merasakan,
lebih baik diam,
terhadap perkara yang tidak diketahui,
dan milikilah perilaku yang tenang)

08.
Yen nengipun alegog-legog lir tugu,
basengut kang ulat,
pasmon semu nginggit-inggit,
yen winulat nyenyengit tan mulat driya.

(Ketika diammu membisu seperti tugu,
dan roman muka mbesengut,
penampilan semu nginggit-inggit,
jika dilihat akan menyakitkan dan tidak bisa menyenangkan hati)

09.
Kang kadyeku saenggon-enggon kadulu,
ngregedi paningal,
nora ngresepake ati,
nora patut winor aneng pasamuwan.

(Yang seperti itu ketika dilihat,
tidak enak untuk dipandang,
tidak meresap dalam hati,
tidak patut untuk berkumpul dalam sebuah pertemuan)

10.
Wong amuwus aneng pasamuwan agung,
yeka den sembada,
sakedale den patitis,
mengetanawarahe Panitisastra.

(Orang yang datang pada pertemuan agung,
harus sembodo,
setiap yang diucapkan harus patitis,
ingatlah petunjuk panitisastra)

11.
Kang kalebu musthikaning rat puniku,
sujanma kang bisa,
ngarah-arah wahyaning ngling,
yektinira aneng ngulat kawistara.

(Yang termasuk manusia unggul itu,
adalah manusia yang bisa,
menempatkan diri saat waktunya berbicara,
sejatinya tampak dalam roman mukanya)

12.
Ulat iku nampani rasaning kalbu,
wahyaning wacana,
pareng lan netya kaeksi,
kang waspada wruh pamoring pasang cipta.

(Roman muka itu menunjukkan rasa hati,
waktunya bersamaan dengan sorot mata,
Yang waspada tentu tahu terhadap pamor pasang cipta)

13.
Milanipun sang Widhayaka ing dangu,
kalangkung waskitha,
uninga salwiring wadi,
saking sampun putus ing cipta sasmita.

(Makanya dahulu sang widhayaka,
lebih waskita,
tahu semua rahasia,
karena sudah putus dengan cipta sasmita)

14.
Wit wosipun ngagesang raosing kalbu,
kumedah sinihan,
ing sasamaning dumadi,
nging purwanya sinihan samaning janma.

(Karena hidup itu adalah rasanya hati,
harus mencintai terhadap sesama makhluk hidup,
itu merupakan awal dicintai oleh sesama manusia)

15.
Iku kudu sira asiha rumuhun,
kang mangka lantaran,
kudu bangkit miraketi,
mring sabarang kang kapyarsa katingalan.

(Untuk itu Anda harus tresno asih lebih dulu,
yang menjadi awal,
harus membangkitkan rasa mempererat,
terhadap semua hal yang terdengar dan terlihat)

16.
Iya iku kang mangka pangilonipun,
bangkita ambirat,
ingkang kawuryan ing dhiri,
anirnakna panacad maring sasama.

(Iya itu yang menjadi kaca benggala,
bisa menghilangkan,
yang tampak pada diri,
menghilangkan kecurigaan pada sesama)

17.
Kabeh mau tepakna ing sariramu,
paran bedanira,
kalamun sira mangeksi,
solah bawa kang ngewani lawan sira.

(Semua itu tempatkan pada dirimu,
bagaimana bedanya antara kamu,
dengan solah bawa yang menjengkelkan hatimu)

18.
Nadyan ratu ya tan ana paenipun,
nanging sri narendra,
iku pangiloning bumi,
enggonira ngimpuni sihing manungsa.

(Meskipun ratu juga tidak ada bedanya,
tetapi ratu adalah untuk kaca benggala dunia
sebagai kumpulan cinta terhadap sesama)

19.
Mapan sampun panjenengan sang aprabu,
sinebut narendra,
ratuning kang tata krami,
awit denya amenaki tyasing janma.

(Karena sudah diangkat jadi ratu,
juga disebut pemimpin,
ratunya tata krama,
karena perbuatannya menyenangkan hati manusia lainnya)

20.
Kang kawengku sajagad sru kapiluyu,
kelu angawula,
labet piniluta ing sih,
ing wusana penuh aneng pasewakan.

(Rakyat yang dipikul menjadi senang,
akhirnya senang menjalankan perintah,
karena dari rasa cinta,
sehingga pertemuan di kraton menjadi penuh)

Wuryanano

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *