Centralinformationasean.com, Sejarah China, Pemberontakan Boxer, Ketika para ahli kungfu di China Bersatu dan Bangkit Melawan Imperialisme Asing
Pada akhir abad ke-19, Tiongkok berada dalam periode kemunduran yang berat di bawah kekuasaan Dinasti Qing. Kekalahan dalam Perang Candu melawan Inggris dan Perang Tiongkok-Jepang membuat negara ini kehilangan banyak wilayah dan kedaulatan. Pelabuhan-pelabuhan strategis seperti Hong Kong jatuh ke tangan asing, dan perjanjian-perjanjian yang tidak adil membuat rakyat Tiongkok semakin terpuruk. Di tengah situasi yang semakin sulit, muncul gerakan pemberontakan yang dikenal sebagai Pemberontakan Boxer, sebuah perlawanan rakyat terhadap imperialisme asing dan kristenisasi.
Gerakan ini dipimpin oleh kelompok masyarakat rahasia bernama Yihetuan (Perkumpulan Kebenaran dan Keselarasan), yang kemudian dikenal di Barat sebagai “Boxers.” Para anggotanya adalah petani miskin, buruh, dan masyarakat kecil yang merasa kehilangan harapan karena kondisi sosial dan ekonomi yang memburuk. Mereka percaya bahwa seni bela diri tradisional Tiongkok, yang dikombinasikan dengan ritual spiritual, dapat memberikan kekuatan mistis, bahkan kekebalan terhadap senjata api. Mereka menganggap pengaruh asing sebagai akar dari semua penderitaan yang mereka alami.
Awal Mula dan Penyebab,
Pemberontakan ini dimulai di Provinsi Shandong, sebuah daerah yang mengalami kekeringan parah dan kelaparan berkepanjangan. Kehadiran misionaris Kristen di daerah ini, yang mendapatkan perlindungan dari kekuatan-kekuatan Barat, menambah ketegangan sosial. Para misionaris sering dianggap merusak tradisi lokal, dan para petani yang beralih ke agama Kristen dipandang sebagai pengkhianat budaya.
Gerakan Yihetuan berkembang menjadi kekuatan besar, didukung oleh kepercayaan pada ajaran tradisional dan seni bela diri seperti Shaolin Kungfu dan Wudang Kungfu. Dalam ritual mereka, para Boxer sering melatih gerakan yang mereka percaya dapat memanggil roh-roh leluhur atau dewa untuk melindungi mereka dalam pertempuran.
Gerakan Menuju Beijing
Pada tahun 1899, gerakan ini mulai menyebar ke daerah-daerah lain di Tiongkok Utara, di mana para Boxer menyerang misionaris Kristen, orang asing, dan warga Tiongkok yang telah memeluk agama Kristen. Dalam waktu singkat, kekerasan meluas, dengan pembakaran gereja, sekolah, dan rumah-rumah warga Kristen.
Awalnya, Dinasti Qing bersikap ambigu terhadap gerakan ini. Kaisar Guangxu lebih cenderung mendukung reformasi dan modernisasi untuk menyelamatkan negara, tetapi ia berada di bawah kendali ketat Permaisuri Cixi, yang lebih tradisional. Ketika gerakan Boxer semakin kuat, Cixi memutuskan untuk mendukung mereka secara diam-diam, dengan harapan dapat menggunakan mereka untuk melawan kekuatan asing.
Pada tahun 1900, gerakan ini mencapai puncaknya ketika para Boxer mengepung distrik diplomatik di Beijing, tempat kedutaan besar dari berbagai negara Barat berada.
Serangan ini dikenal sebagai Pengepungan Legasi Asing, yang berlangsung selama 55 hari. Dalam periode ini, para Boxer menyerang tanpa henti, sementara para diplomat dan penduduk asing berusaha bertahan.
Intervensi Aliansi Internasional
Kematian Baron Clemens von Ketteler, seorang diplomat Jerman yang dibunuh oleh para Boxer di Beijing, menjadi pemicu intervensi militer besar-besaran. Delapan negara—Inggris, Jepang, Rusia, Prancis, Jerman, Amerika Serikat, Italia, dan Austria-Hongaria—membentuk aliansi untuk menghancurkan pemberontakan. Pasukan mereka yang sangat terlatih dan bersenjata lengkap bergerak ke Beijing, mengalahkan pasukan Boxer dan tentara Qing di sepanjang jalan.
Pada Agustus 1900, pasukan aliansi berhasil merebut Beijing. Kota itu menjadi saksi kekejaman perang, dengan banyak korban jiwa di pihak Boxer dan warga sipil Tiongkok. Distrik diplomatik berhasil diselamatkan, tetapi harga yang harus dibayar sangat mahal. Para pemimpin Boxer ditangkap dan dieksekusi secara brutal, sementara rakyat biasa menjadi korban pembalasan dari pasukan asing.
Akhir Pemberontakan dan Nasib Tokoh-Tokoh Sentral
Pemberontakan Boxer resmi berakhir pada tahun 1901 dengan ditandatanganinya Protokol Boxer. Perjanjian ini sangat merugikan Tiongkok. Negara itu harus membayar ganti rugi sebesar 450 juta tael perak, yang setara dengan pendapatan negara selama beberapa dekade. Selain itu, pasukan asing diberi hak untuk menempatkan garnisun di Beijing, memastikan bahwa Dinasti Qing tetap berada di bawah kendali kekuatan asing.
Permaisuri Cixi, yang sebelumnya mendukung Boxer, melarikan diri dari Beijing saat pasukan aliansi menyerbu kota. Namun, setelah situasi mereda, ia kembali ke istana dan melanjutkan kekuasaannya hingga kematiannya pada tahun 1908. Kaisar Guangxu tetap menjadi pemimpin boneka, tanpa wewenang nyata, hingga meninggal pada tahun yang sama.
Para pemimpin Boxer, seperti Zhang Decheng, sebagian besar dieksekusi atau dibunuh selama pertempuran. Rakyat Tiongkok yang terlibat dalam gerakan ini juga mengalami penderitaan berat, baik dari pembalasan pasukan asing maupun dari hukuman pemerintah Qing.
Dampak dan Warisan
Meskipun gagal, Pemberontakan Boxer menjadi simbol penting dalam sejarah Tiongkok. Gerakan ini mencerminkan semangat perlawanan rakyat terhadap imperialisme asing, meskipun dengan cara yang tidak terorganisir. Kekalahan ini juga menjadi lonceng kematian bagi Dinasti Qing, yang semakin kehilangan legitimasi. Pada tahun 1911, hanya sepuluh tahun setelah pemberontakan, Dinasti Qing runtuh dan Republik Tiongkok didirikan.
Pemberontakan Boxer adalah babak penting dalam perjuangan Tiongkok untuk menemukan identitasnya di tengah tekanan modernisasi dan pengaruh asing. Meskipun diwarnai oleh kekerasan dan kekalahan, semangatnya terus menginspirasi gerakan nasionalis di abad ke-20.