Centralinfomationasean.com-22/10/2024-Sejarah, Pada pagi hari 1 Oktober 1965, pasukan yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September (G30S) mencoba untuk menculik tujuh perwira Angkatan Darat anti-komunis termasuk Nasution.Letnan Arief yang memimpin pasukan untuk menangkap Nasution, dan timnya yang terdiri dari empat truk dan dua mobil militer berjalan menyusuri Jalan Teuku Umar yang sepi pada pukul 4:00 pagi. Rumah Nasution di No 40, rumah sederhana dengan satu lantai. Penjaga rumah di pos jaga di luar rumah melihat kendaraan yang datang, tapi sesudah melihat orang-orang itu tentara dia tidak curiga dan tidak menelepon atasannya. Sersan Iskaq, yang bertanggung jawab menjaga rumah ketika itu. Sersan itu berada di ruang jaga di ruang depan bersama dengan setengah lusin tentara, beberapa di selangnya sedang tidur. Seorang penjaga sedang tidur di taman depan dan satu lagi sedang bekerja di proses belakangan rumah
Dalam sebuah pondok yang terpisah, dua ajudan Nasution sedang tidur, seorang letnan muda bernama Pierre Tendean, dan ajun komisaris polisi Hamdan Mansjur.
Sebelum alarm menyala, pasukan Letnan Arief telah melompat pagar dan menguasai para penjaga yang mengantuk di pos jaga dan ruang jaga.
Lainnya masuk dari seluruh sisi rumah dan menutupinya dari belakangan. Sekitar lima belas tentara masuk ke rumah. Nasution dan istrinya terganggu oleh nyamuk dan terjaga. Mereka tidak mendengar para penjaga yang telah direbut tapi Nyonya Nasution mendengar pintu dibuka paksa. Dia susunan dari tempat tidur untuk memeriksa dan membuka pintu kamar tidur, dia melihat tentara Cakrabirawa (pengawal presiden) dengan senjata siap menembak. Dia menutup pintu dan berteriak memberitahu suaminya. Nasution mau melihatnya dan ketika dia membuka pintu, tentara menembak ke arahnya. Dia melemparkan dirinya ke lantai dan istrinya membanting dan mengunci pintu.
Orang-orang di sisi lain mulai menghancurkan pintu bawah dan melepaskan tembakan-tembakan ke kamar tidur. Nyonya Nasution mendorong suaminya keluar menempuh pintu lain dan menyusuri koridor ke pintu samping rumah. Nasution berlari ke halaman rumahnya menuju dinding yang memisahkan halamannya dengan Kedutaan Agung Irak. Dia ditemukan oleh tentara yang kemudian menembaknya tapi meleset. Memanjat dinding, Nasution merasakan patah pergelangan kaki ketika dia jatuh ke halaman Kedutaan Irak untuk bersembunyi. Dia tidak dikejar.
Seluruh penghuni rumah terbangun dan ketakutan oleh penembakan itu. Ibu dan adinda Nasution, Mardiah, juga tinggal di rumah dan berlari ke kamar tidur Nasution. Mardiah membawa putri Nasution yang berusia lima tahun, Irma, dari tempat tidurnya, memeluk erat anak itu dalam pelukannya, dan mencoba lari ke tempat terlindung. Ketika dia berlari, seorang kopral dari penjaga istana melepaskan tembakan ke arahnya menempuh pintu. Irma tertembak dan menerima tiga peluru di punggungnya. Dia meninggal lima hari kemudian di rumah sakit.Putri sulung Nasution, Janti yang berusia 13 tahun, dan perawatnya Alfiah sudah lari ke rumah pondok ajudan Nasution dan bersembunyi di bawah tempat tidur.
Tendean mengambil senjatanya dan lari dari rumah, tapi dia tertangkap dalam beberapa langkah. Dalam kegelapan, dia membuat kekeliruan dan sudah berada di bawah todongan senjata.Sesudah mendorong suaminya keluar rumah, Nyonya Nasution lari ke dalam dan membawa putrinya yang terluka. Ketika dia menelepon dokter, pasukan Cakrabirawa menuntutnya agar memberitahu mereka dimana keberadaan suaminya. Kabarnya dia melaksanakan percakapan singkat sambil marah-marah dengan Arief dan menyebut untuknya bahwa Nasution sedang keluar kota selama beberapa hari ini.Pasukan itu pun pergi dari rumah Nasution dan membawa Tendean pergi dengan mereka. Nyonya Nasution membawa putrinya yang terluka ke rumah sakit pusat angkatan darat. Komandan garnisun Jakarta, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, bergegas ke rumah Nasution.
Karel Satsuit Tubun, seorang penjaga di rumah Wakil Perdana Menteri Indonesia, Johannes Leimena yang juga adalah tetangga Nasution, mendengar keributan dan berjalan ke rumah Nasution. Dalam kebingungan penjaga itu ditembak dan dibunuh. Pembunuhan penjaga itu tidak direncanakan.
Nasution terus bersembunyi di halaman tetangganya sampai pukul 06:00 ketika dia kembali ke rumahnya dalam kondisi patah pergelangan kaki. Nasution kemudian menanti ajudan untuk membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan karena dia pikir itu hendak semakin terlindung di sana. Nasution kemudian mengirim pesan untuk Soeharto di markas Kostrad, menyebut untuknya bahwa dia sedang hidup dan terlindung. Sesudah mengetahui bahwa Soeharto mengambil alih komando tentara, Nasution kemudian memerintahkan dia untuk mengambil langkah-langkah seperti mencari kenal keberadaan presiden, menghubungi panglima angkatan laut R.E. Martadinata, komandan korps marinir R. Hartono serta kepala kepolisian Soetjipto Joedodihardjo, dan mengamankan Jakarta dengan menutup semua jalan yang mengarah ke sana.Angkatan udara tidak termasuk karena Panglima Omar Dhani dicurigai sebagai simpatisan G30S. Soeharto segera mengintegrasikan perintah tersebut ke dalam rencananya untuk mengamankan kota.
Sekitar pukul 14:00, sesudah Gerakan 30 September mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi, Nasution mengirim perintah lain untuk Soeharto, Martadinata dan Joedodihardjo.
Dalam rangka itu, Nasution menyebut bahwa dia yakin Soekarno telah diculik dan dibawa ke markas G30S di Halim. Karenanya dia memerintahkan ABRI untuk menjadikan merdeka presiden, memulihkan keamanan Jakarta, dan yang paling penting, menunjuk Soeharto sebagai kepala operasi.Sama seperti Soeharto yang mulai memainkan pekerjaan, namun, pesan datang dari Soekarno di Halim. Soekarno telah memutuskan untuk menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamodra – loyalis Soekarno – untuk mengisi posisi Panglima Angkatan Darat dan sekarang mau Pranoto untuk datang menemuinya. Soeharto tidak mengijinkan Pranoto pergi tapi dia kenal bahwa Soekarno tidak hendak menyerah untuk mencoba memanggil Pranoto. Untuk memperkuat posisi tawar, Soeharto menanti Nasution untuk datang ke Markas Kostrad.
Nasution tiba di markas Kostrad sekitar pukul 6 sore, Soeharto mulai mengerahkan pasukan Sarwo Edhie Wibowo untuk mengamankan Jakarta dari Gerakan 30 September. Di sana, Nasution belakangnya menerima bantuan pertama untuk pergelangan kakinya yang patah. Sesudah Jakarta terlindung, Martadinata datang ke markas Kostrad dengan salinan Keputusan Presiden yang menunjuk Pranoto. Sesudah melihat keputusan tersebut, Soeharto mengundang Martadinata dan Nasution ke ruangan untuk membahas kondisi.
Nasution menanti Martadinata bagaimana kegiatannya presiden datang untuk menunjuk Pranoto Martadinata menjawab bahwa pada sore hari dia, Joedodihardjo, dan Dhani telah menghadiri pertemuan dengan Soekarno di Halim untuk memutuskan siapa yang harus menjadi Panglima Angkatan Darat sesudah Yani tewas. Pertemuan telah memutuskan bahwa Pranoto harus menjadi Panglima Angkatan Darat. Nasution menyebut bahwa penunjukan Soekarno tidak mampu diterima karena penunjukan datang ketika Soeharto telah memulai operasi.Nasution dan Soeharto kemudian mengundang Pranoto dan meyakinkannya untuk menunda menerima pengangkatannya sebagai Panglima Angkatan Darat sampai sesudah Soeharto berhenti menumpas percobaan kudeta.
Dengan pasukan Sarwo Edhie, Jakarta dengan cepat berhasil diamankan. Soeharto kemudian mengalihkan perhatiannya ke Halim dan mulai membuat persiapan untuk menyerang pangkalan udara. Untuk membantunya, Nasution memerintahkan angkatan laut dan polisi untuk membantu Soeharto dalam menumpas Gerakan 30 September. Untuk angkatan udara, Nasution mengeluarkan perintah menyebut bahwa mereka tidak hendak dihukum atas pembangkangan jika mereka menolak untuk mematuhi perintah Dhani. Pada pukul 06:00 tanggal 2 Oktober, Halim berhasil diambil alih dan Gerakan 30 September secara resmi dikalahkan.
Meskipun Soeharto telah menjadi tokoh kunci pada 1 Oktober, banyak perwira Angkatan Darat lainnya sedang berpaling ke Nasution untuk kepemimpinan dan mengharapkannya untuk mengambil kontrol yang semakin menentukan kondisi. Namun, Nasution tampak ragu-ragu dan perlahan tapi pasti dukungan mulai menjauh darinya. Mungkin gagasan ini yaitu karena dia sedang berduka atas putrinya, Ade Irma, yang meninggal pada tanggal 6 Oktober.
Dalam beberapa minggu pertama sesudah G30S, Nasution-lah yang bersambung melobi Soekarno untuk menunjuk Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat. Soekarno, yang sesudah 1 Oktober tetap menginginkan Pranoto sebagai pimpinan angkatan darat, awal mulanya menjadikan Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib, tetapi dengan lobi bersambung yang dilaksanakan Nasution, Soekarno belakangnya dibujuk dan pada tanggal 14 Oktober 1965, ditunjuklah Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat.
Sebuah peluang emas datang ke Nasution pada bulan Desember 1965 ketika benar pembicaraan tentang penunjukkan dirinya sebagai wakil presiden untuk membantu Soekarno dalam masa ketidakpastian.Nasution tidak memanfaatkan ini dan memilih untuk tidak melaksanakan apa-apa.
Soeharto mengambil inisiatif pada awal 1966 dengan mengeluarkan pernyataan yang menyebut bahwa tidak benar kebutuhan untuk mengisi kursi wakil presiden yang kosong.
Pada 24 Februari 1966, Nasution tidak lagi menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam perombakan kabinet. Posisi Kepala Staf ABRI juga dihilangkan.
Pada tahap ini, keinginan bahwa Nasution hendak melaksanakan sesuatu sekarang telah hilang para perwira militer dan gerakan mahasiswa berada di belakangan Soeharto. Namun demikian, dia terus menjadi tokoh yang dihormati, banyak perwira militer mengunjunginya di hari-hari menjelang penandatanganan Supersemar, dokumen penyerahan kewenangan dari Soekarno ke Soeharto. Bahkan, ketika Soeharto hendak pergi Markas Kostrad untuk menunggu pengiriman Supersemar, dia menelepon Nasution dan menanti restunya. Istri Nasution memberi restu atas nama Nasution, yang absen.
Indra politik Nasution kelihatannya telah kembali sesudah Soeharto menerima Supersemar. Itu mungkin karena dia yang pertama kali menyadari bahwa Supersemar tidak hanya memberikan kekuasaan darurat untuk Soeharto tetapi juga memberinya kontrol eksekutif. Pada 12 Maret 1966, sesudah Soeharto melarang keberadaan PKI, Nasution menyarankan untuk Soeharto bahwa dia membentuk kabinet darurat.Soeharto, sedang hati-hati tentang apa yang dia dapat atau tidak dapat lakukan dengan daya barunya, karena pembentukan kabinet yaitu tanggung jawab presiden. Nasution mendorong Soeharto, berjanji untuk memberikan dukungan penuh tetapi Soeharto tidak menanggapi dan percakapan belakangnya tiba-tiba.
Ketua MPRS
Dengan daya barunya, Soeharto mulai membersihkan pemerintahan dari pengaruh komunis. Sesudah penangkapan 15 menteri kabinet pada 18 Maret 1966, Soeharto mengincar MPRS, mencopot proses yang dianggap simpatisan komunis dan menggantinya dengan proses yang semakin bersimpati pada tujuan militer. Selama pembersihan, MPRS juga kehilangan ketuanya, Chaerul Saleh, dan benar kebutuhan untuk mengisi posisi yang kosong.
Nasution yaitu pilihan yang sangat populer karena semua fraksi di MPRS menominasikan dia untuk posisi Ketua MPRS. Namun, Nasution menunggu sampai Soeharto menyalakan dukungan untuk pencalonannya sebelum menerima nominasi.
Pada 20 Juni 1966, Sidang Umum MPRS dimulai. Nasution menetapkan Supersemar sebagai kegiatan yang dipekerjakan pertama yang hendak dibahas dalam daftar dengan berjalan ke aula pertemuan dengan dokumen yang sebenarnya. Keesokan harinya, pada 21 Juni, MPRS meratifikasi Supersemar, sehingga ilegal untuk Soekarno untuk menariknya. Pada 22 Juni, Soekarno menyampaikan pidato berjudul Nawaksara (Sembilan Poin) di depan sidang. Nasution dan proses MPRS lainnya merasa kecewa. Soekarno tidak menyebutkan apa-apa tentang G30S. Sebaliknya, Soekarno kelihatannya memberikan penjelasan tentang pengangkatannya sebagai presiden seumur hidup, rencana kerjanya sebagai presiden, dan bagaimana Konstitusi memainkan pekerjaan dalam praktik. MPRS menolak untuk meratifikasi pidato ini.
Selama dua minggu ke depan, Nasution sibuk memimpin Sidang Umum MPRS. Di bawah kepemimpinannya, MPRS mengambil langkah-langkah seperti melarang Marxisme-Leninisme, mencabut keputusan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan memerintahkan pemilihan legislatif yang hendak diselenggarakan pada bulan Juli 1968. Sidang Umum MPRS juga meningkatkan daya Soeharto dengan secara resmi memerintahkannya untuk merumuskan kabinet baru. Sebuah keputusan juga disahkan yang menyalakan bahwa jika presiden tidak dapat menerapkan tugasnya, dia kini hendak dialihkan oleh pemegang Supersemar bukan wakil presiden.
Tahun 1966 pun berlalu, Soekarno semakin defensif dan popularitasnya semakin menurun. Soeharto, yang kenal bahwa kemenangan politiknya sudah dekat, turun untuk memperagakan peran orang Jawa yang sopan dengan bersambung memberikan kata-kata meyakinkan untuk Soekarno dan membelanya dari para pemrotes.
Jenderal lainnya seperti Nasution tidak penuh belas kasihan, Nasution menyalakan bahwa Soekarno harus bertanggung jawab atas kondisi Indonesia yang mengerikan pada ketika itu. Nasution juga menyerukan agar Soekarno dibawa ke pengadilan.
Pada 10 Januari 1967, Nasution dan MPRS bersidang lagi dan Soekarno menyerahkan laporannya (dia tidak menyampaikan hal itu secara pribadi sebagai pidato) yang diharapkan dapat mengatasi masalah G30S. Dijuluki Nawaksara Tambahan, laporan itu berucap tentang desakan Soekarno menyebut G30S dengan Gerakan 1 Oktober (Gestok).
Pada G30S, Soekarno menyebut bahwa PKI membuat kekeliruan agung pada pagi hari 1 Oktober, tetapi juga menambahkan bahwa hal ini disebabkan oleh ikhtiar neokolonialis. Soekarno menambahkan bahwa jika dia hendak dipersalahkan atas G30S, Menteri Pertahanan dan Keamanan pada ketika itu juga harus dipersalahkan karena tidak melihat G30S datang dan menghentikannya sebelum terjadi.Laporan sekali lagi ditampik oleh MPRS.
Pada bulan Februari 1967, DPR menyerukan Sidang Khusus MPRS pada bulan Maret untuk mengganti Soekarno dengan Soeharto. Soekarno kelihatannya pasrah hendak nasibnya, belakangnya pada 12 Maret 1967, Soekarno secara resmi dilengserkan dari kekuasaan oleh MPRS. Nasution kemudian menyumpah Soeharto ke tampuk kekuasaan sebagai presiden sementara. Setahun kemudian pada 27 Maret 1968, Nasution memimpin pemilihan dan pelantikan Soeharto sebagai Presiden penuh.
Meskipun bantuan dari Nasution memberinya kesempatan naik ke kekuasaan, Soeharto melihat Nasution sebagai saingan dan segera mulai memainkan pekerjaan untuk menyingkirkannya dari kekuasaan. Pada tahun 1969, Nasution dilarang berucap di Seskoad dan Akademi Militer.Pada tahun 1971, Nasution tiba-tiba diberhentikan dari dinas militer, ketika berusia 53, dua tahun semakin cepat dari usia pensiun yakni 55 tahun. Nasution belakangnya pada tahun 1972 dialihkan oleh Idham Chalid sebagai Ketua MPRS. Kejatuhan Nasution secara drastis tersebut membuatnya mendapatkan julukan sebagai Gelandangan Politik.
Pada 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI, Nasution dianugerahi pangkat Jenderal Agung bintang lima. Nasution tutup usia di RS Gatot Soebroto pada 6 September 2000 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Sumber:unkris.
Catatan Sejarah: Bukti Otentik yang tidak akan bisa dirubah oleh siapapun,dan untuk sejarah bangsa harus tetap diingat dan dikenali oleh seluruh generasi bangsa.
1.Nasution mendengar Soekarno membacakan dekret 1959.
2.Nasution yang kakinya terluka sedang membahas kondisi di markas Kostrad pada malam tanggal 1 Oktober 1965
3.Nasution memberi selamat untuk Jenderal Soeharto atas pengangkatannya sebagai acting presiden, 12 Maret 1967.
4.Kolonel AH Nasution ketika menjadi Panglima Divisi Siliwangi 1949
5.Jenderal AH Nasution ketika menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata 1962