Centralinfomationasean.com-18/10/2024) Semua kajian ilmiah itu pasti berangkat dari keimanan tertentu. Coba kita cek logika orang yang suka bilang bahwa kajian ilmiah harus dipisahkan dari iman itu.
Kamu bilang: kajian ilmiah itu harus dipisahkan dari iman. Lah kamu sendiri percaya nggak dengan kebenaran pernyataan itu? Kalau iya, berarti kamu juga mengawali kajianmu dengan keimanan dong.
Kamu sudah beriman sejak awal bahwa kajian ilmiah itu harus dipisahkan dari keimanan. Iya kan? Ya iya dong. Di samping keimanan tersebut, kamu juga pasti mengimani banyak hal sebelum itu, yang kamu jadikan pijakan dalam kajianmu.
Mungkin dia akan ngeles:
“Oh nggak. Yang aku maksud itu keimanan dalam agama.”
Lah sama aja. Kalau mengikuti logikamu, sesuatu yang dipercaya itu kan namanya iman. Perkara iman itu dijadikan dasar suatu agama atau tidak, ya itu urusan lain. Yang jelas, kalau setiap kajian ilmiah harus dilepaskan dari semua jenis keimanan, ya pada akhirnya kamu juga harus melepas keimanan itu.
Ujung ujungnya kamu nggak akan bisa mengkaji. Seorang materialis pun beriman bahwa wujud yang hakiki itu adalah materi. Dan dia yakin betul dengan kebenaran pandangan itu. Jadi ada nggak manusia yang melakukan kajian tanpa iman? Ya kagak ada lah.
Saintis pun melakukan kajiannya dengan iman kok. Paling tidak dia mengimani kesahihan metode yang dia gunakan. Kalau nggak mengimani, lah terus dia mau mengkaji pake apa?
Jadi intinya boleh nggak sih melakukan kajian ilmiah dengan berpijak pada iman? Ya bisa boleh, bisa nggak. Tergantung iman yang mana dulu. Dan yang menjadi tolok ukur adalah bukti dan argumentasi.
Kalau imannya terbukti cacat, irrasional, nggak punya bukti, ya jelas nggak boleh dong.
Masa iman kek gtu mau dibawa ke ranah kajian ilmiah yang selalu menuntut bukti. Tapi bagaimana kalau imannya terbukti benar, punya landasan, dan bisa dibuktikan secara rasional? Ya jelas boleh lah. Kan ada buktinya.
Itu cara yang paling adil. Kalau nggak setuju dengan keimanan itu, ya kamu debat dulu di situ. Iman yang itu tuh bener apa nggak? Kalau terbukti benar, ya harus diterima dong. Kalau terbukti salah, ya ditolak sama- Sama. Nah, untungnya, dalam agama islam, kita tidak mengenal istilah iman tanpa bukti itu. Namanya iman ya harus ada buktinya.
Iman itu kan artinya pembenaran. Dan pembenaran yang benar harus didasarkan pada pengetahuan. Kalau dia terbukti memiliki landasan pengetahuan yang benar, maka harusnya dia dijadikan pijakan dalam kajian ilmiah.
Karena keniscayaan dari kajian ilmiah ialah menerima kebenaran selama ada buktinya. Bukan menolaknya hanya karena dia diimani belaka.
( Sholihul)