Centralinformationasean.com-7/11/2024) , Opini , Mau yang ‘merdeka’ atau yang ‘militeristik’ sekolah kita?
Berita anak-anak sekolah di Condongcatur, Depok,kabupaten Sleman dan Kaliangkrik, Magelang diperintahkan untuk berdiri dipinggir jalan menyambut pejabat yang akan lewat di jalan raya mengundang pergunjingan di masyarakat.
Pertama tentu karena anak-anak ini menunggu cukup lama, ada yang kepanasan, ada yang kepanasan dan kehujanan dan meninggal jam belajar mereka.
Kedua hal yang menimbulkan pertanyaan adalah beredarnya surat dari Kodim untuk kepala Dinas pendidikan ( yang saya baca Sleman) terkait kegiatan meninggalkan kegiatan belajar mengajar ini. Mana yang lebih penting, karena sejak reformasi pemandangan seperti in isudah jarang ditemukan.
Umumnya karena pertimbangan KBM lebih penting dan mungkin para pejabatnya sendiri sudah merasa cukup berlimpah sambutan di mana-mana.
Kekhawatiran akan muncul iklim yang ‘serba tegang’ mulai muncul.
‘Wah sekolah bakal makin tidak menarik tegang karena terlalu banyak perintah”, kurang lebih begitu komentar salah seoang wali yang punya anak sekolah. “Anak jaman sekarang beda dengan jaman kita. Kalau modelnya terus-terus disuruh suruh, ya mental mereka”, tu perbincangan lain di antar ibu-ibu yang mengertubuti tukang sayur.
Meski mengundang kontroversi, model komunikasi dan relasi yang perlu dibangun antar orang dewasa dan anak yang lebih dialogis dalam kurikulum merdeka, banyak masyarakat yang mengakui, bahwa jamannya beda. Model dialogis yang menghargai pikiran perasaan dan jatidiri anak itu bermanfaat membuat mereka lebih bertanggung jawab dan santun karena merasa dihargai.
Sebaliknya sebagian masyarakat juga belajar bahwa model komunikasi ‘asal perintah’ dan tidak mau tahu dengan kondisi anak, membuat anak merasa ‘ora diwongke’, tidak dimanusiaan dan dampaknya untuk anak jaman sekarang adalah pemberontakan.
Orang-orang yang mengalami sekolah pada generasi saya dan sebelumnya, umumnya hanya dapat ‘perintah’ dan yang terjadi ya 3D:
Datang, duduk, diam, dengar. Dengan cara belajar seperti ini, kita tidak berharap pelajar mau berpendapat, berkreasi, berinisiatif, apalagi berani mengkritisi perilaku salah guru atau orang yang dianggap lebih. Praktik semacam ini yang kemudian diupayakan berubah karena sayang sekali waktu yang dibuang anak-anak ke sekolah bila sedikit sekali potensi yang dikembangkan dan belum lagi melahirkan pribadi-pribadi yaag suka membeo.
Kembali pada pergunjingan sebagian masyarakat yang khawatir dengan surat ‘cinta’ Dandim ke Dinas Pendidikan itu. Dua bidang ini bukannya tidak boleh saling berhubungan, apa sih yang tidak saling terhubung . Tapi kultur belajar dan cara pikir pada dua ruang ini memang tidak sama.
Kedisiplinan ala militer dan usaha ‘ngewongke dalam pembelajaran agar potensi tumbuh optimal’ itu menjadi sesuatu yang bisa jadi bertentangan juga.
Nah, tapi apa betul para pejabat itu juga senang melihat anak-anak meninggalkan waktu belajar untuk berdiri di pinggir jalan demi menyambut mereka?
(Penulis: Listya Suprobo, ed. Sholihul)