Centralinformationasean.com, Opini, Setinggi-tingginya langit, tidak pernah menjelaskan kalau posisinya lebih tinggi, dan di atas langit masih ada langit.
Untuk mengerti kalau posisi langit lebih tinggi, maka berpijaklah ke bumi.
Tidak mudah mengamalkan ‘ilmu langit’, karena manusia disamping diberikan akal, juga diberikan nafsu. Syarat mutlak mengamalkan ilmu langit, hendaklah berpijak ke bumi.
Manusia yang berpijak ke bumi akan senantiasa sadar pada pijakannya, tidak akan ‘melangit’ selama berpijak ke bumi.
Namun ketika tidak lagi berpijak ke bumi, manusia akan cenderung melangit, dan bahkan merasa lebih tinggi dari langit.
Apa yang kita mau banggakan dari semua yang kita miliki? Padahal secara hakikat, tidak satupun yang kita miliki, semua hanyalah titipan.
Dianugerahi ilmu, kecerdasan, dan keahlian oleh Yang Maha Memiliki, agar memberikan manfaat, baik bagi diri sendiri, maupun bagi orang lain.
Begitu juga dengan limpahan harta dan kekayaan, hanyalah titipan-Nya, yang kapan waktu pun bisa diambil-Nya kembali.
Apa yang pantas dibanggakan? Sementara secara hakikat kita bukanlah pemiliknya.
Berilmu Langit, berpijak ke bumi adalah manifestasi kesadaran hakiki.
Manusia hidup karena ada yang hidupkan, bukanlah hidup dengan sendirinya, dan menikmati dunia sesukanya.
Sadar bukanlah siapa-siapa, dan bukanlah apa-apa, kalau tidak dianugerahi-Nya keberkahan, dalam mengarungi dunianya. Kemampuan manusia tetaplah atas dasar kendali-Nya.
Tidak seketika cerdas, dan tidak seketika pula mampu mengerjakan apa pun, tanpa kendali dan sepengetahuan-Nya. Dalam hidup ini banyak hal yang ghaib kita temui, dan yang ghaib itulah campur tangannya.
Manusia yang berilmu langit, dan berpijak ke bumi sangat sadar posisi. Selalu rendah hati, karena berpijak ke bumi, dan tahu kalau di atas langit masih ada langit.
( Ajinatha/ sholihul)