Banten || centralinformanasean.com – Pemilihan Kepala Daerah merupakan media konstutusional bagi warga-negara untuk mengganti pemerintahan yang digelar secara berkala setiap lima tahunan untuk masa jabatan satu periode. Regulasi membuka peluang bagi petahana untuk bisa memperpanjang masa jabatan pada periode berikutnya.
Ketentuan bisa menjabat kembali pada posisi yang sama, berlaku bagi Bupati, Walikota, Gubernur, juga Presiden. Yang bersangkutan bisa mendaftar lagi, baik berpasangan dengan wakilnya, juga bisa berpasangan dengan orang lain. Hal itu tergantung kepada partai politik yang mengusungnya.
Batasan dua kali masa jabatan ini hanya berlaku pada lingkungan eksekutif, dan tidak berlaku pada legislatif. Karenanya, ada anggota DPRD Kabupaten atau Kota, Provinsi, dan RI yang menjabat hingga beberapa kali masa jabatan. Bahkan ada wakil rakyat baru berhenti sebagai anggota ketika meninggal dunia.
Ada beberapa keuntungan bagi calon Kepala Daerah yang posisinya sebagai petahana dibanding calon Kepala Daerah yang baru maju mencalonkan diri yang diusung oleh partai politik. Misalnya, dia bisa -walau ini tidak boleh- menggerakkan dan memobilisasi aparatur dan jaringan birokrat untuk mendukung dan memilihnya.
Karenanya, agar kompetisi dan kontestasi bisa terselenggara secara adil, maka regulasi mengatur bahwa bila ada petahana yang kembali maju dan daftar sebagai calon Kepala Daerah untuk periode berikutnya, yang bersangkutan wajib mengambil cuti. Baginya tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas negara selama masa cuti tersebut.
Pada Pasal 2 Permendagri Nomor 74 Tahun 2016, ditegaskan bahwa Kepala Daerah yang mencalonkan diri kembali selama masa kampanye wajib menjalani cuti di luar tanggungan negara dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya. Hal ini untuk memastikan pelaksanaan kampanye berjalan adil dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Tahapan Pilkada 2024 ini, masa kampanye dimulai pada 25 September hingga 23 November 2024. Jadi, bila ada Kepala Daerah yang maju dan daftar kembali, maka dia harus cuti di rentang waktu itu. Dan selama itu dia kapasitasnya hanya sebagai warga-negara biasa yang sama dengan yang lain. Sama dengan calon Kepala Daerah lain yang bukan petahana.
Selama masa cuti, dia tidak bisa dan tidak boleh mendapatkan fasilitas yang selama ini didapatkan ketika sedang dalam masa dinas. Misalnya fasilitas negara, baik rumah, kendaraan, tunjangan, dan hal-hal lainnya yang melekat padanya karena jabatannya. Ketika habis masa cutinya, yang bersangkutan bisa aktif kembali bekerja, berikut seluruh haknya yaitu fasilitas yang untuk sementara terhenti itu.
Selama masa cuti, maka seluruh organisasi perangkat daerah atau satuan kerja perangkat daerah atau dinas, tidak bisa dan tidak boleh memperlakukan petahana sebagaimana layaknya dia sebagai Kepala Daerah. Misalnya, sosialisasi program dengan menggunakan spanduk dan dipasang di ruang publik.
Bentuk spanduk sosialisasi program pada pemerintah daerah yang kepala daerahnya sedang cuti, cukup dengan memasang nama instansi, nama program, dan bila perlu -sebagaimana kelaziman padahal itu juga tidak ada urgensinya- cukup dengan memasang foto diri pimpinan pada instansi tersebut.
Tanpa perlu -ini juga kelaziman yang sudah salah kaprah selama ini- menyertakan foto kepala daerahnya. Mengapa? Karena yang bersangkutan selama masa cuti ini adalah “bukan siapa-siapa”. Dia sama seperti yang lain. Tidak ada privilege, bahkan ketika yang bersangkutan masuk kantornya untuk keperluan tertentu.
Karenanya, agar kontestasi bisa terselenggara secara adil, maka penyelenggara Pilkada dalam hal ini KPU dan Bawaslu bersama stakeholders lainnya mesti melakukan penertiban atas media citra diri sang petahana di ruang publik. Alat Peraga Kampanye atau APK yang sah adalah yang diatur oleh KPU baik kisi-kisi bentuknya, ukurannya, jumlahnya, dan lokasi pemasangannya.
Spanduk dan atau media dalam bentuk lainnya yang dimaksudkan sebagai alat untuk sosialisasi program yang dipasang di ruang publik oleh kantor dinas atau OPD dan SKPD dengan menyertakan foto dan atau gambar petahana yang sedang dalam masa cuti, bisa dimaknai sebagai ketidak-netralan birokrat dalam Pilkada.
Bagaimana dengan media sosialisasi yang selama ini sudah kadung terpasang dan terdapat foto sang petahana? Pun yang itu mesti ditertibkan. Apalagi bila ada OPD, SKPD, atau Dinas yang baru merencanakan akan memasang media sosialisasi dengan menyertakan sang petahana. Itu bisa dimaknai sebagai keberpihakan. Dan itu pelanggaran.
Bagaimana dengan foto-foto sang petahana yang selama ini sudah terpasang di dinding kantor-kantor pemerintahan, seperti kantor Sekretariat Daerah, Kantor Dinas dan Badan, Kantor Kecamatan, Kantor Kelurahan, dan lembaga-lembaga lainnya? Lha, kan selama cuti petahana itu tidak boleh menggunakan fasilitas negara.
Emang selama cuti sang petahana sebagai apa?
Minggu, 22 September 2024