Centralinformationasean.com, 7/1/2025, Opini, Pembelajaran dan Pembiasaan itu hal yang berbeda , statemen pembiasaan konvensional yang ditawarkan dalam kurikulum deep learning ,di beberapa negara hanya menghasilkan generasi frustrasi dan Bunuh diri massal, Persoalan akan muncul ketika kreatifitas Murid akan dibrending dan di bredel oleh agitasi dan Ortodoksi aturan pribadi Guru yang tidak terstruktur. Abdul Mukti mungkin membandingkan Standar ilmu bebas nilai yang dimiliki barat untuk dihadap hadapkan dengan norma pribadi yang dimilikinya ,sehingga menjadi catatan jika perubahan itu sifatnya artifisial ,bukan deep lagi.
Berdasarkan penelitian Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2024), 48,2 persen responden mengaku menghabiskan lebih dari dua jam sehari untuk bermedia sosial; dan mayoritas yang berselancar di dunia maya ini adalah gen Z (kelahiran 1997-2012), yakni sebanyak 34,40 persen. Artinya, putra-putri harapan bangsa yang kini duduk di bangku pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi kini banyak yang menghabiskan waktunya di media sosial.
Kita tidak sedang mengatakan bahwa media sosial itu pasti selalu buruk.
Namun, perlu disadari bahwa ada potensi pembusukan otak yang terjadi secara masif mengingat media sosial kita penuh dengan konten-konten hiburan receh yang sukses membuat orang kecanduan menonton, tetapi sama sekali tidak memacu mereka untuk bernalar.
Selain itu, masalah gangguan mental jelas tak terhindarkan baik karena kurangnya interaksi langsung dengan lingkungan sosial, kelimbungan karena terlalu banyak menelan informasi, maupun karena efek langsung dari pesan yang ditangkap dari konten.
Itulah sebabnya mengapa Australia, misalnya, pada November 2024 mengesahkan peraturan larangan terhadap anak-anak di bawah 16 tahun untuk bermedia sosial.
Larangan serupa juga sudah diterapkan satu tahun sebelumnya di negara bagian Utah, AS, meski agak longgar karena masih diperbolehkan sejauh ada persetujuan orangtua.
Brain rot menjadi tantangan serius karena jangankan langkah restriktif seperti ditempuh Australia atau Utah, sistem kontrol minimum untuk mengatur jenis konten yang bisa diakses anak-anak usia sekolah saja belum kita punya. Filter yang dipakai sejauh ini hanya berkutat pada urusan pornografi dan pornoaksi.
Sementara apakah sebuah konten itu edukatif dalam arti menambah wawasan dan merangsang nalar atau tidak belum banyak tersentuh karena dianggap terlalu kompleks.
Ada kebingungan, misalnya bagaimana mengategorikan sebuah konten itu edukatif atau tidak, bagaimana sistem kontrol dilakukan, atau siapa yang pantas melakukannya. Belum lagi sistem kontrol tersebut bertabrakan dengan tuntutan mengenai kebebasan berekspresi di media sosial, dan seterusnya.
Brain rot dengan demikian terjadi karena kendali sepenuhnya ada pada mekanisme operasi media sosial. Pada titik inilah deep learning menjadi peluang yang berpotensi membalikkan keadaan dengan mengandalkan beberapa kekuatan berikut
Pertama, merujuk pada ilustrasi yang diangkat di awal tulisan ini, deep learning bisa membentuk peserta didik yang bisa berpikir secara mandiri. Hanya orang yang bisa berpikir mandiri yang bisa mengambil kendali atas apa yang benar-benar bermanfaat untuk dirinya, termasuk memilah dengan kritis berbagai pilihan yang muncul di media sosial.
Kedua, deep learning pula yang memungkinkan lahirnya konten-konten berkualitas. Artinya ketika deep learning itu sudah membudaya dalam pembelajaran, maka dalam jangka panjang standar tontonan masyarakat juga akan beralih ke konten-konten berkualitas.
Dengan begitu, para kreator konten pun menyesuaikan kualitas kontennya karena konten-konten yang semata-mata berisi hiburan receh tak lagi punya pasar penonton.
Akan Menjadi lebih lengkap lagi ketika para kreator konten itu adalah produk dari deep learning itu sendiri, mereka tentu akan selalu mengutamakan kedalaman substansi daripada sekadar polesan kulit luar yang superfisial.
Ketiga, tujuan deep learning memang menumbuhkan kompetensi setiap individu untuk menghadapi masalah aktual secara tepat dan bijak berbasis pada ilmu-ilmu yang dipelajari, termasuk menghadapi bahaya brain rot. Namun, tetap perlu ada intervensi lain sebagai alternatif pelarangan media sosial seperti yang terjadi di negara lain.
Intervensi itu adalah adanya mata pelajaran khusus di sekolah mengenai bagaimana berhadapan dengan media sosial. Materinya bisa terbentang dari sejarah media sosial, etika bermedia sosial, peraturan bermedia sosial di berbagai negara, manfaat bermedia sosial, bahaya atau efek negatif bermedia sosial, dan seterusnya. Harapannya, peserta didik yang memegang kendali atas media sosial dan bukan sebaliknya.
(Heribertus Jani, Pusat Studi Kebangsaan Indonesia (PSKI) Universitas Prasetiya- sholihul et.all,,)