Centralinformationasean.com, 2/12/2024, Budaya, Dari hasil penelitian selama bertahun-tahun, saya menemukan kejanggalan dari berbagai teori yang sudah beredar. Penelitian itu berdasarkan historis yang tertulis dan diabadikan dalam catatan-catatan pada masa itu.
Kejanggalan teori sebelumnya, terletak pada pakaian yang dikenakan kuntilanak. Jelas sekali, pakaian tersebut berjenis daster.
Kuntilanak juga masuk karegori kearifan lokal bidang perdemitan yang berisikan makhluk astral. Demit luar negeri, seperti Dracula, Werewolf, Vampir dan lain-lain, diakui tidak diakui, lebih mendunia (bertaraf Hollywood), ketimbang demit dalam negeri.
Seharusnya kita lebih mencintai produk dalam negeri, ketimbang produk luar negeri, termasuk berbagai jenis demit, beserta historisnya.
Berdasarkan bukti-bukti penampakan kuntilanak, entah itu dokumentasi berbentuk foto, entah video, semua berpakaian daster, tidak ada yang berpakaian selain itu.
Pakaian daster, masuk ke Nusantara pada abad 17, bersamaan datangnya bangsa Eropa, salah satunya Belanda. Mustahil, keberadaan kuntilanak sudah ada sebelum abad itu.
Berbagai versi sejarah munculnya kuntilanak, meramaikan literasi di tanah air. Tapi, tak satupun yang menyinggung darimana asalnya pakaian yang dikenakan kuntilanak ? jenisnya apa ? bagaimana bisa dikenakannya ?
Semua literasi yang ada saat ini, menceritakan asal mula kuntilanak, dari wujud manusia berubah menjadi makhluk astral, dengan berbagai kisah dan tempat yang berbeda-beda.
Memang, bangsa Eropa, khususnya Portugis, sudah mendarat di Jayakarta pada abad 16, tetapi mereka semua laki-laki, berstatus pedagang antar benua. Selain pedagang, mereka membawa kekuatan militer untuk menguasai perdagangan di Jayakarta. Mustahil laki-laki berpakaian daster, sebagaimana umumnya dikenakan perempuan.
Kemungkinan awal kemunculan kuntilanak, ada pada seorang Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal wilayah kongsi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang keempat (18 April 1618 sampai 31 Januari 1623) dan keenam (30 September 1627 sampai 21 September 1629).
Dari kemungkinan, muncul kesimpulan, kuntilanak bukan produk lokal atau dalam negeri, melainkan produk impor. Munculnya kuntilanak, tidak lepas dari perwujudannya yang menggunakan pakaian daster.
Kesimpulan itu bukan tanpa dasar, perlu diingat, pakaian perempuan nusantara pada masa itu, tidak mengenal jenis daster, tapi pakaian tradisional, baik jenis maupun bahan yang digunakan, tergantung ciri khas tiap-tiap daerah.
Mustahil, pakaian daster digunakan perempuan nusantara masa itu, karena mereka sudah memiliki ciri khas yang sudah ada, dan sebaliknya, ciri khas itu tidak digunakan perempuan Eropa.
Pada tahun 1619, J.P. Coen berambisi membangun koloni baru di Batavia, dan merubah peta kekuasaan perdagangan, sekaligus menandai bangkitnya era kolonial Hindia Belanda di bumi nusantara.
J.P. Coen mengirimkan surat permintaan kepada Raad van Indie, agar dikirimkan perempuan-perempuan dari Belanda, untuk tinggal di Batavia, dan dijadikan pegawai VOC dengan kontrak kerja.
Selain itu, seluruh pegawai dan militer VOC, diwajibkan mendatangkan istri-istrinya dari Belanda untuk menetap di Batavia. Tidak hanya itu, J.P. Coen meminta didatangkan beberapa pekerja profesional, seperti ahli bangunan, ahli hukum, ahli ekonomi, ahli tata negara, tenaga medis, dan pengusaha dari Belanda.
Pada tahun 1620, imigran perdana dari Belanda tiba di Batavia dengan kapal Mauritius, disusul 7 tahun kemudian, tepatnya tahun 1627, Eva Ment, istri J.P. Coen tiba di Batavia.
Diduga, awal mula munculnya kuntilanak, berawal dari datangnya imigran perdana yang didominasi perempuan. Kedatangan imigran perdana tersebut, sudah pasti membawa pakaian dan perlengkapan dari Belanda, salah satunya daster.
Makhluk astral memiliki kemampuan kamuflase, tetapi kamuflase itu sendiri butuh objek, dan objek itu bersumber dari benda yang digunakan manusia, salah satunya pakaian daster yang digunakan orang-orang Belanda pada masa itu.
Versi lain munculnya kuntilanak, merujuk peristiwa eksekusi hukuman mati pasangan Sara Specx dan Pieter J. Cortenhoeff pada tahun 1629, usai J.P. Coen menetapkan keduanya sebagai terdakwa kasus perzinahan.
Menurut undang-undang yang berlaku pada masa itu, hukuman ringan pelaku perzinahan adalah hukuman penjara, sedangkan hukuman berat adalah hukuman mati.
Sebelum Pieter J. Cortenhoeff dihukum gantung, wajah, dan hidungnya dicoreng arang hingga hitam. Dari situlah, muncul istilah hidung belang, yang hingga saat ini masih digunakan dan masuk dalam buku kamus bahasa Indonesia.
Sedangkan Sara Specx, sebenarnya adalah anak angkat J.P. Coen, namun “lacur” atau sial, J.P.y Coen lebih mementingkan ambisinya mempertahankan kursi Gubernur Jenderal, dengan menjaga nama baiknya. Dari kata lacur itulah muncul kata “pelacur”, dan kata itu masih digunakan hingga saat ini, serta masuk dalam buku kamus bahasa Indonesia.
Dari Sara Specx inilah, dugaan munculnya kuntilanak, yang bisa dikatakan makhluk astral jenis baru atau “new entry” pada masa itu. Peristiwa berubah menjadi cerita horor yang diselimuti misteri, mistis, dan mitos.
Tentunya, kehadiran kuntilanak menambah deretan makhluk astral yang terlebih dahulu dikenal masyarakat saat itu.
Munculnya kuntilanak, diperkirakan se-jaman dengan munculnya sundel bolong, karena perwujudan sundel bolong hampir mirip, sama-sama berpakaian daster, perbedaannya terletak dibagian punggung sundel bolong.
Versi lain, kedatangan istri J.P. Coen, Eva Ment, di Batavia pada tahun 1627. Sebagai istri Gubernur Jenderal yang erat dihubungkan dengan kehidupan serba glamor, seperti mengoleksi banyak pakaian, tidak menutup kemungkinan, salah satunya berjenis daster, dan tentunya dalam jumlah yang banyak. Dari sinilah, dugaan kuat asal mula pakaian yang digunakan kuntilanak hingga jaman sekarang.
Laporan munculnya makhluk astral berwujud kuntilanak berbagai tempat pada abad 19, telah sampai ke telinga pejabat pemerintah Hindia Belanda.
Tak mau dikaitkan kemunculan makhluk astral berpakaian daster, pemerintah Hindia Belanda mengarang cerita fiktif yang dijadikan literasi asal mula kuntilanak.
Literasi itu disebarkan ke berbagai daerah dengan masif, agar tuduhan kemunculan kuntilanak berasal dari orang-orang Belanda, tidak berkembang, dan hilang. Sehingga, masyarakat pada masa itu menduga kemunculan kuntilanak berasal dari dalam negeri, bukan dari orang-orang Belanda.
Sementara itu, munculnya makhluk astral, tidak lepas dari kemunculan suatu tradisi. Salah satu tradisi yang berkembang di tengah masyarakat, yaitu ketika ada wanita hamil, ada kebiasaan (sekarang sudah langka) selalu membawa paku, pisau, dan gunting bila bepergian ke mana saja atau meletakkannya di dekat tempat tidur bayi.
Benar tidaknya teori saya tentang asal mula kuntilanak, setidaknya menambahkan literasi seputar jenis makhluk astral.
Apapun asumsinya, dari mana persepsinya, setidaknya keberadaan makhluk astral disekitar kita, mewarnai cerita-cerita yang berkembang ditengah kehidupan masyarakat.
Kita tinggal di Nusantara. Budaya di Nusantara, adalah milik kita. Karena kitalah, pemilik sesungguhnya Budaya Nusantara. Sepatutnya, Budaya di Nusantara ini, kita jaga, kita rawat, dan kita lestarikan. Karena Budaya kita, Budaya Nusantara.
Salam Budaya.
Dari Saya, Cak Hari untuk Nusantara.
(Viva/ sholihul)