Centralinformationasean.com, Sejarah, Pada saat kejadian Gerakan 30 September (G30S) pada 1965, Leimena bertempat tinggal dekat rumah jenderal Abdul Haris Nasution yang menjadi salah satu sasaran utama pihak G30S.
Pada dini hari itu, ada sekitar seratus orang yang terlibat upaya penculikan Nasution, dan karena Leimena dijaga secara pribadi oleh tiga orang pengawal, para penculik bermaksud untuk memastikan ketiga orang tersebut tidak mengganggu. Baku tembak pun terjadi dan seorang pengawal Leimena Karel Sadsuitubun gugur.
Seusai kejadian tersebut, rumah Leimana tidak diusik lagi, dan Leimena sendiri tidak disentuh.
Begitu Leimena tahu bahwa pengawalnya terbunuh, ia menolak untuk melarikan diri dan berkeras untuk tinggal di rumah.
Sebelum peristiwa-peristiwa yang berlangsung menjadi jelas, Leimena awalnya dianggap sebagai sasaran utama para penculik dan laporan berita awalnya lebih berfokus ke kejadian di rumah Leimena
Bahkan, awalnya Soeharto (saat itu panglima Kostrad) diberitahu oleh Umar Wirahadikusumah bahwa Leimena telah ikut diculik.
Beberapa jam setelah peristiwa tersebut, masih di tanggal 1 Oktober, Leimena dipanggil oleh Soekarno ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, tempat Soekarno sedang berunding dengan beberapa pimpinan G30S.
Sebelum berangkat ke Halim, Leimena berdiskusi dengan Soeharto dan membawakan pesan dari Soeharto yang meminta Soekarno meninggalkan Halim sebelum pukul 16.30. Soeharto sebelumnya telah mengultimatum pihak G30S untuk meletakkan senjata sebelum pukul 16:30 dan mengancam akan menyerbu Halim apabila mereka tidak menyerah.
Setelah tiba di Halim, Leimena terus berada di dekat Soekarno sepanjang sore itu.
Setelah pembicaraan disana dan persetujuan Soekarno untuk menggantikan Ahmad Yani yang baru dibunuh dengan Pranoto Reksosamudro sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat, mereka diberitahukan bahwa Soeharto sedang mempersiapkan penyerbuan ke Halim. Tokoh-tokoh G30S seperti Omar Dhani mencoba meyakinkan Soekarno untuk mengikuti mereka ke Madiun, ke Jawa Timur atau ke Bali, tetapi Leimena berhasil memastikan bahwa Soekarno tidak dibawa pergi. Leimena menganggap bahwa apabila Soekarno mengikuti saran Dhani dkk, perang saudara dapat saja pecah.
Karena Leimena, rencana pihak G30S yang ingin membawa Soekarno ke lokasi yang dikendalikan mereka digagalkan, dan Soekarno sendiri memutuskan untuk kembali ke Istana Bogor sehingga ia tidak dapat dilibatkan dalam rencana-rencana kudeta.
Sore itu, pihak G30S di bawah Kolonel Untung Syamsuri mengumumkan “Dewan Revolusi Indonesia” yang termasuk Leimena, beserta banyak menteri dan petinggi negara lainnya.
Leimena kemudian ditunjuk sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan ad interim dan pada tanggal 3 Maret 1966 ia memerintahkan universitas-universitas ditutup. Perintahnya diabaikan oleh kesatuan-kesatuan TNI yang mengawal aktivitas di kampus-kampus.
Pada tanggal 11 Maret, Leimena ikut dalam suatu rapat kabinet di Jakarta, ketika sejumlah tentara memosisikan diri di depan Istana Presiden. Sore itu, Soekarno beserta ketiga Waperdam (Leimena, Subandrio, dan Chaerul Saleh) bertemu sejumlah jenderal TNI (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rachmat) di Istana Bogor. Hasil dari pertemuan tersebut merupakan Surat Perintah Sebelas Maret yang pada dasarnya menyerahkan sejumlah besar kekuasaan darurat ke Soeharto.
Tak lama kemudian, pada tanggal 16 Maret, pertemuan lain yang diikuti Leimena berlangsung, dan dalam pertemuan itu Soekarno menolak permintaan untuk merombak kabinetnya.[85] Akan tetapi, pada tanggal 18 Maret 1966, 15 orang menteri Soekarno ditangkap. Meskipun demikian, Leimena tetap menjabat sebagai menteri dan ditunjuk sebagai anggota bagian kabinet beranggotakan lima orang: Leimena, Hamengkubuwono IX, Idham Chalid, Adam Malik, dan Ruslan Abdulgani.[86][87] Ia pada waktu itu sudah menjabat sebagai menteri dalam berbagai kabinet selama hampir dua puluh tahun.
( Sholihul)