Centralinformationasean.com, 29/11/2024, Filsafat, Kegelisahan terkait metode penelitian filsafat. Apakah penelitian filsafat memiliki metode?
Jika iya, apakah metodenya sama dengan penelitian bidang ilmu lain? Jika sama, apa yang membuat penelitian filsafat adalah penelitian filsafat dan bukan, misalnya, penelitian sosiologi atau antropologi? Jika beda, metode macam apa yang seharusnya digunakan dalam penelitian filsafat?
Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul karena setiap kali membaca literatur filsafat, baik dalam bentuk artikel, buku, ataupun disertasi di kampus luar negeri, saya tidak pernah menemukan penulisnya mencantumkan metode apa yang dia gunakan sebagaimana dalam artikel-artikel para ilmuwan sosial maupun alam. Apakah ini berarti bahwa penelitian filsafat memang dapat dilakukan tanpa metode? Mengingat filsafat sering kali menekankan keketatan, tampaknya tidak mungkin penelitian filsafat ini dapat dilakukan tanpa metode.
Faktanya, dalam kepustakaan filsafat di Indonesia, memang terdapat satu buku berjudul Metodologi Penelitian Filsafat(MPF) yang ditulis oleh Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair. Saat menulis skripsi dan tesis, saya menjadikan buku yang diterbitkan Penerbit Kanisius lebih dari tiga dekade lalu itu sebagai panduan, meski jujur waktu itu saya tidak paham bagaimana operasionalisasi metode-metode yang disarankan. Saya hanya mengikuti templat skripsi/tesis yang sudah ada sebelumnya.
Setelah mempelajari isu-isu metodologis filsafat (atau metafilsafat), saya coba baca-baca lagi buku MPF tersebut. Saya menemukan sejumlah masalah dan menyimpulkan bahwa buku tersebut sebenarnya kurang representatif untuk dijadikan sebagai buku rujukan metode penelitian filsafat. Berikut adalah penjelasannya.
Problem utama yang saya temukan dalam buku MPF ini adalah tendensinya untuk mereduksi keragaman dan keluasan filsafat pada satu corak saja.
Setidaknya terdapat dua jenis reduksi di dalamnya.
Reduksi pertama tampak ketika buku ini menarik semua problem filosofis pada satu jangkar yang disebutnya “objek formal”, yaitu manusia sebagai manusia (Bakker & Zubair, 1990, p. 35). Ini jelas mengabaikan keberadaan corak (ber)filsafat yang non-antroposentris. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa filsuf yang berfilsafat adalah manusia.
Namun, tidak semua filsuf itu menjadikan manusia sebagai jangkar filsafatnya. Ada filsuf realis dalam isu metafisik dan epistemologis, juga ada filsuf biosentris dan ekosentris dalam isu etis. Masing-masing filsuf itu menolak manusia sebagai dasar kenyataan, pengetahuan, dan nilai.
Reduksi kedua tampak ketika buku ini menjelaskan unsur-unsur metodis penelitian filsafat. Terdapat sepuluh unsur metodis: (1) interpretasi, (2) induksi dan deduksi, (3) koherensi intern [sic], (4) holistika, (5) kesinambungan historis, (6) idealisasi, (7) komparasi, (8) heuristika, (9) bahasa inklusif atau analogal [sic], dan (10) deskripsi (Bakker & Zubair, 1990). Saya tidak menemukan keterangan eksplisit apakah semua unsur itu dapat dan harus digunakan dalam semua jenis penelitian filsafat.
Namun, di bab-bab berikutnya yang menjelaskan model-model penelitian filsafat, sepuluh unsur tersebut selalu disebutkan dalam semua model. Selain itu, penjabaran unsur-unsur metodis tersebut ditulis di Bab 3 yang berjudul “Unsur-unsur Metodis Umum bagi Penelitian Filsafat”.
Berdasarkan dua petunjuk tersebut, kita dapat menarik dua kesimpulan terkait posisi buku ini.
Pertama, posisi ekstrem: buku ini menyatakan bahwa sepuluh unsur metodis tersebut harus digunakan oleh semua model penelitian filsafat. Kedua, posisi moderat: buku ini menyatakan bahwa sepuluh unsur metodis tersebut dapat digunakan oleh semua model penelitian filsafat. Dalam posisi ekstremnya, buku ini mereduksi semua model penelitian filsafat ke dalam corak tertentu; sedangkan dalam posisi moderatnya, buku ini mereduksi semua model penelitian filsafat yang menggunakan metode tertentu ke dalam corak tertentu.
Pertanyaan berikutnya: unsur metodis mana yang dapat mereduksi penelitian filsafat ke dalam corak tertentu? Ada banyak, tetapi sebagai contoh, saya akan membahas tiga unsur saja di sini, yaitu interpretasi, holistika, dan kesinambungan historis.
Interpretasi tentu tidak dapat dihindari dalam banyak sekali aktivitas manusia, mulai dari aktivitas gosip hingga aktivitas membaca kitab suci. Namun, interpretasi yang dijabarkan sebagai unsur metodis dalam buku ini bukan interpretasi biasa melainkan interpretasi dalam kerangka interpretivisme.
(Sholihul)