Paradigma Kemanusiaan dan Problem Ketuhanan Infinitas.

banner 120x600
banner 468x60

Centralinformationasean.com, 2/12/2024, opini, Seperti kita lihat di dunia, ternyata hal yang paling banyak menimbulkan konflik dalam sejarah adalah konflik mengenai masalah Ketuhanan. Oleh karena itu, bila ada problem tentu ada sebab-sebabnya. Itulah yang jadi fokus perenungan saya hari ini.

Salah satu akar problemnya adalah bagaimana keterbatasan manusia dalam mencoba memahami arti Maha yang artinya Tak Terbataskan (infinite) dari sudut keterbatasannya (finite). Karena sifat pikiran yang hanya bisa bekerja dalam mode dualisme, maka kata Infinite itupun selalu diukur atau dibandingkan dengan yang Finite.

banner 325x300

Manusia tidak bisa memahami sesuatu yang dia tidak pernah alami. Ketika menyatakan sesuatu yang belum dialaminya, kita hanya bisa memberikan bandingan dari sesuatu yang pernah dialami / diketahuinya. Hal ini pun terjadi ketika para suciwan yang merealisasi Infinite hendak mengkomunikasikan pada pendengar yang hanya tahu tentang apa-apa yang Finite. Ia mengkomunikasikan konsep Infinite sebagai yang bukan-finite.

Ketika apa yang kita ketahui adalah apa yang Terbatas maka Maha adalah lawannya yaitu sesuatu yang Tak-terbatas. Ketika sesuatu berwujud maka Maha artinya Bukan-wujud, dan seterusnya.

Maka bisa kita lihat disini, bahwa sesuatu yang Infinite hanya bisa dipahami oleh orang-orang awam sebagai suatu lawan-kata yang Finite. Padahal, pengalaman langsung dari yang Infinite adalah mencakup dari lawannya. Artinya, yang Infinite tidak mempunyai lawan. Ketika mempunyai lawan, atau ada sesuatu yang bukan termasuk diriNya maka ia menjadi tidak Infinite. Akan tetapi pencerapan orang-orang awam terjebak pada apa yang merupakan lawan. Ini kesalahan pertama.

Bahkan ketika dikatakan bahwa the Infinite adalah terpisah dari yang Finite, itu sendiri membatasi apa yang Infinite. Karena arti Infinite berarti termasuk adalah apa yang manifest pada Finite.

Karena apabila yang Finite tidak termasuk dari apa yang Infinite, maka The Infinite itu sesuatu yang terbatas. Dengan kata lain Infinite harus adalah mencakup apa yang Infinite dan Finite. Akan tetapi pencerapan orang-orang awam tentang The Infinite cenderung terjebak pada apa yang berada terpisah. Ini kesalahan kedua.

Kesalahan ketiga, bisa apa yang dipahami oleh khalayak tentang Infinite adalah suatu perluasan konsep dari yang Finite.

Kalau dikatakan Maha Kasih, artinya Kasih yang luarbiasa besar (sembari membayangkan sesuatu yang seluas langit).

Padahal imajinasinya itu pun sebetulnya Terbatas ( hanya dalam ukuran ruang). Jadi, ketika khalayak mencoba menangkap konsep Infinite, maka mereka selalu mengukurnya dari apa yang ada diketahuinya disini secara Finite.

Ini tentu tidak benar. Karena bila ketakterbatasan hanyalah merupakan extensi dari yang terbatas, maka ia akan selalu terbatas dalam satu kategori. Bahkan ketika menyebutNya sebagai uncategorical, sebetulnya sudah mengkategorikan dalam kategori “uncategorical”. Ini kesalahan ktiga.

Kesalahan keempat. Karena cara manusia mengada dalam mode pikiran selalu bersumber dari “ego”, sementara ego didefinisikan sebagai sesuatu yang demi dirinya sendiri WTR (Will to Receive). Sementara Tuhan itu adalah sesuatu yang bukan untuk diriNya sendiri (Maha Pemberi; WTB / Will to Bestowal), maka disini terletak kebuntuan pemahaman.

Karena bagi manusia, ia tidak dapat memberi sebelum mendapat pemberian. Memberi sekali PUN adalah demi sesuatu imbalan (sekalipun itu hanya berupa kepuasan batin, atau surga, dll apalah namanya).

Kondisi eksistensial yang WTR tidak akan pernah bisa memahami WTB, kecuali melalui jembatan-kognitif yang berupa : pewahyuan, perumpamaan , analogi, mitos, kisah. Itu pun selalu merupakan SHADOW dari hal yang sebenarnya. Celakanya adalah ketika SHADOW dianggap Realitas. Atau lebih parah lagi : shadhow direifikasi sebagai realitas. Maka kehilangan esensi.

Peniruan shadow tidak akan menghasilkan apa-apa. Atau justru dapat menimbulkan ekses dari hal yang merupakan lawannya : keinginan untuk sangat memberi dapat menjadi suatu egoisme kuat yang terbungkus.
Ini kesalahan keempat.

Akibat dari keterbatasan-keterbatasan komunikasional inilah maka seringkali sesuatu yang Infinite menjadi sesuatu yang Finite++ (the finite-extra) dengan label-label He (Dia laki-laki), Ia, Nya seolah-olah suatu entity subyek yang terpisah dengan / dari si pemikir. Yang mana bila hal itu terjadi, maka itulah yang disebut Dewa.

Itulah mengapa ilmu2 dalam ajaran Timur, misal Jawa, dipisahkan antar tahap-tahap pemahaman , Kanuragan, Kadewatan / Pedayangan, dan Kasunyatan / Kasepuhan.
Pemahaman Ketuhanan yang benar hanya bisa bila wadah telah mantap memasuki tahap Kasunyatan. Sebelum itu diberikan wadah : Kadewatan.

Dan itulah mindset/ mental umat agama2 “monotheis” pada umumnya…Tuhan tiada lain hanyalah nama lain dari MahaDewa Tunggal. Dus ketika yang Maha Tak Terbatas turun derajat menjadi Yang Terbatas dan diberi dimensi kekuasaan atas nama Yang-Tak-Terbatas , maka jadilah Problem.

Pendek kata, masalah Ketuhanan sebaiknya didekati melalui pendekatan Transformasional bukan pendekatan dogmatik. Dogma diperlakukan sebagai Ideal yang ditempatkan di depan, atau sebagai pagar.

Tetapi bukan sebagai hukum-positif yang membuat insan akhirnya mati sebelum berkembang (atau statis dalam kepalusan demi utk menyelamatkan diri).

banner 325x300

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *