Centralinformationasean.com, 30/11/2024, Filsafat , Dari sini dapat dipahami konsekuensi pembongkaran ini untuk model konstruksi evaluatif dan model konstruksi kebaruan.
Dalam konstruksi evaluatif, pembongkaran yang dilakukan akan lebih kompleks dengan melibatkan lebih dari satu filsuf-aliran. Hal ini akan menunjukkan bagaimana perdebatan filosofis berlangsung, di mana letak kesepakatan maupun ketidaksepakatan dari pemikiran filsuf-filsuf yang diteliti, baik pada argumentasi, asumsi, korelasi, maupun konsekuensinya. Harapannya, peneliti model kedua akan memahami pola-pikir banyak filsuf secara mendalam (bahkan yang bertentangan), yakni pola pikir multi-perspektif.
Perlu dipahami bahwa pada konstruksi evaluatif, peneliti tidak hanya dapat mengambil perdebatan filsuf yang secara aktual terjadi, namun peneliti juga dapat membenturkan setidaknya dua pandangan filsuf-aliran meski secara aktual mereka tidak berdebat.
Hal ini menjadi sangat seru dan kompleks pada prosesnya: peneliti dapat mengeksplorasi benturan-benturan filosofis di antara filsuf-aliran dan memahami secara mendalam benturan-benturan tersebut berikut konsekuensinya.
Terkait konstruksi kebaruan, fokusnya adalah perihal pemecahan problem filosofis oleh sang peneliti. Skill berpikir multi-perspektif pada model sebelumnya juga diterapkan pada model ini yang kemudian dibawa lebih jauh untuk berupaya memecahkan sebuah masalah filsafat maupun turunannya. Peneliti pada model ketiga ini belajar berargumentasi secara mandiri dan merespon berbagai argumentasi filsuf yang telah ada, yang juga hendak memecahkan problem yang sama.
Peneliti dapat merekonstruksi pandangan lama, dengan cara memperkuat argumentasi pandangan lama sehingga menjadi konstruksi argumentasi baru khas peneliti; peneliti dapat pula mengonstruksikan pandangan baru dari nol sekiranya semua pandangan lama telah direspon dan dirasa tidak memadai oleh peneliti; dan peneliti mau eklektik pun tidak masalah, yakni merekombinasi pandangan-pandangan lama yang sekiranya kompatibel sehingga menjadi argumentasi baru.
Peneliti di sini bebas berargumentasi, karena tujuan dari model ketiga ini adalah menjadi filsuf.
Taufiq (2024a) berargumen bahwa pembedaan problem teoretis dengan praktis tetap diperlukan sebab pembedaan tersebut membantu peneliti dalam menentukan fokusnya: apakah akan fokus pada teori besarnya, atau fokus pada kasus spesifik terkait dengan teori tersebut.
Jika fokus pada kasus spesifik, maka peneliti perlu mengetahui detail kasusnya (Taufiqurrahman, 2024a).
Pertanyaannya, semisal penelitian etika X dalam kasus Y, jika fokusnya pada teori X, apakah peneliti tidak perlu tahu detail kasus Y? Saya pikir peneliti juga perlu tahu detail kasus Y meski fokus dia terletak pada teori X, sebab bisa saja peneliti menemukan kritik praktis untuk teori X yang diteliti. Justru konsekuensi lain dari poin saya adalah memberikan kebebasan pada peneliti dengan memasukkan filsafat terapan dalam kerangka filsafat teoretis: peneliti berhak memodifikasi teori dengan argumen praktis, ini juga termasuk kemajuan teoretis karena modifikasi tersebut dapat disebut sebagai teori “baru”.
Skema kerja filsuf-terapan secara sederhana adalah sebagai berikut. Semisal terdapat problem filosofis X dalam kasus spesifik Y. Kemudian, filsuf-terapan mencari filsuf-aliran Z yang berfilsafat dan menjawab problem filosofis X. Dari sana, filsuf-terapan melakukan interpretasi praktis atas filsafat filsuf-aliran Z sehingga dapat dilihat bagaimana filsafat filsuf-aliran Z memandang kasus spesifik Y; dan di titik ini dimungkinkan sebuah luaran berupa kebijakan praktis, dan sebagainya.
(Sholihul)