Centralinfomationasean.com)Opini, Saya mencoba menanggapi pernyataan Pieter F Gontha terkait kemajuan sepakbola Timnas saat ini. Diskusi yang semoga bisa memperkaya perspektif.
“Saya sungguh galau, saya akan posting status yang akan membuat followers saya marah, tapi tidak apa saya ambil risiko ini, karena saya mau menjaga martabat bangsa saya,” buka Peter Gontha dalam unggahannya di Instagram, peter gontha.
Pertanyaan itu merujuk kepada sembilan pemain keturunan yang menjadi starter di laga Timnas Indonesia vs Australia, Selasa 10 September 2024 malam WIB. Tercatat hanya Marselino Ferdinan dan Rizky Ridho non-pemain keturunan yang mentas sejak awal laga.
Berikut kutipan pertanyaan dan jawaban dari Peter Gontha:
Apakah Anda cinta PSSI? (saya cinta)
GPS: Tidak perlu saya tanggapi
Apakah Anda cinta bangsa? (saya cinta)
GPS: Tidak perlu saya tanggapi
Apakah Anda tidak malu lihat PSSI 9 pemainnya adalah bangsa asing yang dinaturalisasi? (Saya malu).
GPS: malu atau tidak itu ranah pribadi. Tetapi perlu dipahami regulasi FIFA berbeda dengan regulasi negara. Bahkan negara manapun tidak bisa intervensi FIFA. Sehingga jika ingin menakar kemaluan diri ukurlah dari pemahaman dasar ini. Lalu buat perbandingan negara Perancis yg juara dunia, atau Australia saja yang baru dihadapi Indonesia…ada berapa pemain bukan berdarah asli Australia? Apakah mereka malu atau tidak? Jadi letakkan rasa malu di tempat yang tepat
Apakah kita bangsa besar? (saya rasa demikian)
GPSnya memang iya.
Apakah Anda tau bahwa naturalisasi mereka hanya sementara, karena mereka mempunyai dua paspor, nanti kalau sudah selesai main di Indonesia mereka akan buang status WNI mereka? (saya tahu)
GPS: bagaimana kedepan sangat tergantung bagaimana kita memperlakukan mereka. Tetapi yang pasti hubungan darah, semangat membela Indonesia telah terpancar dari bagaimana kesungguhan mereka dalam bermain. Sebagai mantan Dubes, mungkin Bapak melihat dari paspor, tetapi kesungguhan pemain bola adalah dilihat bagaimana mereka di lapangan memberikan yg terbaik untuk negara ini.
Apakah mereka mau membuang tunjangan sosial mereka di negara nya begitu saja? (saya rasa tidak).
GPS: Perasaan Bapak tidak perlu saya tanggapi karena rasa itu urusan pribadi. Yang pasti mereka rela bolak balik dari klubnya ke Indonesia hanya untuk membela Indonesia. Pengorbanan mereka sangat kita apresiasi.
Saya lebih tertarik dengan gairah sepakbola telah memajukan kegairahan UMKM di Indonesia karena penjualan atribut Timnas makin meningkat dan menambah kesejahteraan para UMKM di tanah air.
Apakah menurut Anda tidak lebih baik membina pemain kita dari muda (SD s/d Dewasa)? ( saya rasa demikian)
GPS: Membina itu proses yang panjang. Stimulan untuk percepatan dan mengenalkan standar atmosfir kelas dunia harus dibawa ke Indonesia. Maaf Pak, Saya pernah urus klub kecil seperti Sportivo Buleleng, East Bali bahkan pernah juga sekelas Liga 2 PSPS Pekanbaru itu tidak sekejap melakukan yang bapak sebutkan.
Sekarang bapak lihat kegairahan yang ditularkan dari kemajuan Timnas saat ini yang begitu membangun optimisme karena anak anak makin antusias menanggalkan gadget lalu luangkan waktunya bermain dan berlatih sepakbola.
Perlu waktu dg pola yang baru dan terbukti pola yang lama seperti Bapak katakan itu sudah gagal.
Saat ini lihat saja sudah puluhan stadion direvitalisasi dinaikkan kelasnya. Pusat pelatihan basecamp training center terus bermunculan untuk menggodok pemain pemain muda masa depan, beberapa pemain sdh mulai bertanding di klub klub luar negeri dan semua itu perlu waktu.
Ini bukan soal prosentase jumlah pemain tetapi soal strategi dan kebutuhan Tim sesuai dengan tingkat kualitas pertandingan.
Susah memang menggunakan logika bukan dengan logika aturan FIFA dibandingkan logika logika politik kenegaraan kaku. Sekali lagi, FIFA sudah paham akan perkembangan, budaya, spirit sepakbola dibandingkan yang menyibukkan diri tebak tebakan prosentase yang jualan rasa malu dan jualan martabat semu bangsa.
Apakah tidak lebih baik kalah dengan terhormat dari pada Menang atau seri dengan cara yang merendahkan martabat bangsa? (saya malu).
GPS: Ini pernyataan yang paling konyol. Dimananya merendahkan martabat bangsa?
Sepakbola itu biasa menang kalah dan seri, ini urusan olahraga dengan regulasi FIFA bukan regulasi negara. Bapak harus menyadari martabat dalam olahraga itu berbeda dengan martabat versi Bapak yang semu.
Sok nasionalis tapi tidak berbuat apa yang diinginkannya sendiri.
FIFA sudah menyadari ke depan itu bordless demografi karena perkawinan, migrasi dan lainnya sehingga aturan yang diberlakukan memungkinkan para olahragawan bertanding dimana saja selama ada keterkaitan sejarah dan atau darah dengan Negara tersebut. Disitulah akan terlihat martabat bangsa yang inklusif atau eksklusif terlihat.
Bapak tidak pernah merinding ikut bernyanyi bersama di GBK betapa nasionalisme dan martabat bangsa ditumbuhkan menular dengan baik ke sumsum nadi setiap orang.
Memandang sepakbola itu ibarat memandang bola, lihatlah semu sisinya akan sama…sama karena aturannya dari FIFA bukan dari aturan yang lainnya.
Ini olahraga bukan perjuangan kemerdekaan.
Saya jadi malu lihat bapak yang telah mempermalukan dirinya sendiri.
Saat berjuang merdeka saja Indonesia banyak melahirkan pejuang pejuang naturalisasi..
Coba lihat saja ada berapa orang Cina, Jepang, Belanda dan lainnya ikut dalam perjuangan bangsa ini. Perjuangan agar negara ini merdeka dan memiliki martabat.
(Peter Ghonta/ shol)