Centralinfomationasean.com-23/10/2024-Opini, Kewajiban Utama Tidak Lantas Mengabaikan Kewajiban Lainnya,
Islam telah memberikan aturan khusus bagi kaum perempuan untuk mengemban tanggung jawab sebagai ibu sekaligus sebagai pengelola rumah suaminya. Syarak pun memberi aturan sedemikian rupa agar misi keluarga dapat dijalankan dengan baik. Dari sebelum pernikahan, syarak sudah mewanti-wanti para lelaki agar memilih pasangan yang subur, penyayang, dan memiliki pemahaman Islam yang mumpuni karena nantinya ia akan menjadi ibu.
Modal dasar menjadi seorang ibu adalah penyayang, di samping ia harus paham tentang din. Ini karena ibu adalah madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Tanggung jawab pengasuhan, pemeliharaan, dan pendidikan anak-anak berada di pundaknya.
Sebagai rabbatul bayt, maka Islam telah menjelaskan dalam banyak hadis bahwa Rasulullah saw. telah memerintahkan kepada istri-istrinya untuk melayani beliau. Salah satunya, “Ya Aisyah, tolong ambilkan aku minum. Ya ‘Aisyah, tolong ambilkan aku makan. Ya ‘Aisyah, tolong ambilkan aku pisau dan asahlah dengan batu.” Dalam hal ini, perempuan berperan mengatur dan menyelesaikan urusan rumah tangga agar memberikan ketenteraman dan kenyamanan bagi anggota keluarganya.
Benar bahwa dalam Islam, perempuan diposisikan sebagai perhiasan berharga yang wajib dijaga dan dipelihara. Hanya saja, harus dipahami bahwa hal ini tidak berarti mengekang mereka dalam wilayah tertentu. Islam tidak membatasi peran muslimah pada mengurusi urusan domestik, melainkan memberi peran baginya dalam ranah domestik sekaligus publik, serta hal ini tidak boleh diabaikan.
Islam pun memandang bahwa perempuan muslimah merupakan penyangga peradaban mulia. Keberadaannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan laki-laki. Keduanya diciptakan dengan mengemban tanggung jawab yang sama dalam mengatur dan memelihara kehidupan sesuai kehendak Allah Swt. Al-Khaliq Al Mudabbir.
Allah Swt. telah mewajibkan laki-laki maupun perempuan untuk berdakwah di tengah umat. Hal ini tampak dalam nas-nas, baik Al-Qur’an maupun Sunah yang tidak hanya menjelaskan peran utamanya sebagai bagian dari keluarga, tetapi juga bagian dari masyarakat.
Dakwah Adalah Kewajiban Seorang Muslimah Berdasarkan Nas Syarak
—
Islam memandang bahwa perempuan adalah bagian dari masyarakat yang menjadikan mereka memiliki kewajiban yang sama untuk mewujudkan kesadaran politik pada diri mereka dan masyarakat secara umum. Keduanya memiliki kewajiban yang sama dalam memajukan Islam dan umat Islam.
Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang tidak memperhatikan kepentingan kaum muslim, ia bukanlah termasuk di antara mereka. (Dan) barang siapa bangun pada pagi hari tidak memperhatikan urusan kaum muslim, maka ia bukanlah golongan mereka.” (HR Ath-Thabari).
Untuk mewujudkan hal ini, harus terwujud dakwah di tengah umat, baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Di samping itu, sesungguhnya Islam tidak pernah mendikotomikan antara peran domestik dan peran publik atau peran politiknya. Sebabnya, peran yang dianggap domestik, bisa juga bernilai politik. Seorang ibu, misalnya, tidak sekadar melahirkan anak, melainkan ia akan mendidik anak-anaknya menjadi orang yang berkepribadian Islam dan menjadi pejuang Islam tepercaya.
Setiap muslim pun harus menyadari bahwa Islam sangat menjaga kemuliaan dan ketinggian martabat perempuan. Semua ini semata-mata karena Allah Swt. sangat memahami segala yang terbaik bagi manusia, baik laki-laki dan perempuan.
Walhasil, sudah seharusnya setiap muslimah bangga dengan peran yang Allah telah tetapkan ini. Betapa tidak, seorang muslimah tidak hanya dikaruniai keistimewaan yang luar biasa, tetapi juga dianugerahi peran yang sangat spesial dalam Islam.
Keistimewaan seorang muslimah ini tidak terlepas dari sifat kasih sayang dan lemah lembutnya.
Wajar jika ia diamanahkan Sang Khalik untuk menjadi ummun wa rabbatul bait, seorang ibu dan pengelola rumah suaminya, yang dari rahimnyalah akan lahir generasi berkualitas prima.
Tidak hanya itu, seorang muslimah pun Allah anugerahkan peran spesial sebagai
“aktor utama” dalam menentukan nasib suatu bangsa. Ia adalah agent of change di tengah masyarakat sebagaimana laki-laki. Keduanya berperan besar dalam memperbaiki kondisi umat.
Allah Swt. berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104).
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
Ayat-ayat tersebut bersifat umum, menunjukan bahwa Allah memerintahkan kepada laki-laki maupun perempuan untuk beramar makruf nahi mungkar. Dengan kata lain, berdakwah merupakan kewajiban setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan.
Kiprah muslimah dalam lapangan dakwah pada hari ini pun sangat penting karena tidak sedikit dari kaum perempuan yang belum paham Islam. Perempuan tentu lebih mudah dan lebih leluasa dalam menjalankan misi dakwah kepada sesama kaumnya.
Di sisi lain, kaum perempuan memiliki tugas yang sangat mulia dan strategis, yaitu sebagai ibu dan madrasah pertama untuk anak-anaknya. Kelak merekalah yang akan menjadi generasi penerus bangsa yang akan memegang tongkat estafet perjuangan.
Kiprah Perempuan pada Masa Rasulullah Saw. dan Khilafah Tegak
Sejak Rasulullah saw. diutus menyebarluaskan risalah Islam, para muslimah generasi awal telah terlibat secara aktif dalam pergerakan dakwah bersama kaum muslim lainnya untuk melakukan transformasi sosial, mengubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat Islam. Mereka bahkan secara bersama merasakan pahit getirnya mengemban misi dakwah, melakukan perang pemikiran dan perjuangan politik di tengah masyarakat, hingga atas pertolongan Allah akhirnya berhasil membangun masyarakat Islam yang agung di Madinah.
Demikian halnya pada masa khulafaurasyidin dan kekhalifahan sesudahnya, peran muslimah dalam kancah kehidupan—termasuk dalam percaturan politik—tercatat demikian besar. Misalnya, Khadijah binti Khuwailid ra. yang senantiasa mendampingi dan mengobarkan semangat perjuangan bagi Rasulullah .
Lalu siapa yang tidak kenal Sumayyah binti Khubath seorang syahidah pertama, Asma binti Abu Bakar yang memuluskan jalan bagi Rasulullah saw. dan ayahnya untuk berhijrah ke Madinah, dan Asma binti Yazid orator ulung yang menjadi wakil para perempuan dalam majelis syura?
Pada masa kekhalifahan, ada Bunda Khaulah binti Malik bin Tsa’labah yang tidak segan-segan melakukan koreksi terhadap Amirulmukminin Umar bin Khaththab dan sebagainya. Mereka adalah para perempuan yang mempunyai posisi strategis dalam peran politik.
Istimewanya, pada saat yang sama, mereka pun mampu melaksanakan peran utamanya sebagai ummun wa rabbatul bait. Mereka berhasil mencetak generasi terbaik (generasi mujahid dan mujtahid) yang mampu membangun peradaban Islam yang tinggi dan cemerlang, mengalahkan peradaban lainnya di dunia dalam rentang waktu yang sangat panjang.
Generasi demikian lahir dari para ibu yang paham Islam, yang mengajarkan Islam kafaah kepada anak-anaknya, mengajarkan Islam sebagai ideologi yang lahir darinya aturan-aturan Islam yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan.
Kewajiban Kerja dan Kewajiban Rumah Tangga Bisa Sinergis
Dakwah adalah misi yang agung dan mulia karena merupakan misi para nabi dan Rasul yang mulia. Dakwah merupakan amal terbaik karena dengannya akan mengajak umat pada lurusnya iman dan akan dijadikan sebagai sebaik-baiknya umat.
Dengan dakwah amal islami, pribadi dan masyarakat akan terpelihara. Demikian halnya dengan kewajiban sebagai ummun wa rabbatul bait, merupakan tugas mulia dan aktivitas strategis pula.
Keduanya merupakan aktivitas penting yang tidak boleh dilaksanakan yang satu dan meninggalkan lainnya. Ini karena Allah telah menurunkan perintah-Nya dalam berbagai nas bahwa keduanya merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang muslimah.
Keduanya juga bisa bersinergis satu sama lainnya.
Terbukti bahwa kedua aktivitas ini bisa dilaksanakan secara harmonis oleh para muslimah pada masa Rasulullah saw. maupun masa kekhalifahan. Artinya, segala aktivitas ini bisa dilaksanakan oleh muslimah mana pun hari ini sesuai dengan tuntunan syariat.
Namun perlu diingat, aktivitas apa pun, baik dakwah maupun rumah tangga dalam, perjalanannya tidak akan pernah sepi dari rintangan dan cobaan. Terkadang bisa terjadi benturan. Cita-cita yang besar memang membutuhkan curahan tenaga, perhatian, dan pastinya pengorbanan yang juga besar.
Tanpa itu semua, keinginan menggapai kemuliaan hidup hanyalah mimpi belaka.
Kalaupun memang terjadi benturan antara aktivitas yang satu dan yang lain, termasuk antara kewajiban dakwah dan kewajiban dalam rumah tangga, Islam pun memiliki solusi tentang hal ini, yaitu dengan adanya konsep fikih aulawiyaat, yaitu prioritas pelaksanaan hukum syarak.
Konsep aulawiyaat menuntun manusia untuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban daripada yang sunah, serta mendahulukan yang sunah daripada yang mubah.
Apabila terjadi benturan antara fardu yang satu dengan fardu lainnya, maka yang diprioritaskan adalah yang lebih darurat menurut syariat, bukan menurut penilaian manusia. Juga mendahulukan mengerjakan kewajiban yang satu dan menunda sementara kewajiban yang lain, bukan lantas meninggalkannya.
Pelaksanaan suatu kewajiban tidak boleh menyebabkan seseorang melalaikan kewajiban lainnya. Misalnya, seorang ibu dihadapkan pada kewajiban berdakwah, tetapi pada saat yang sama anaknya sakit.
Alhasil, ia harus merawat anaknya dahulu dan menunda sementara aktivitas dakwahnya. Akan tetapi, ketika situasinya sudah normal, ia pun harus kembali menunaikan kewajiban dakwah yang tertunda sebelumnya.
Dari penjelasan ini semua, baik secara syar’i maupun fakta, muslimah pada masa sistem Islam tegak, sesungguhnya memiliki peran politis yang luar biasa.
Ia mendapat tanggung jawab utama sebagai ummun wa rabbatul bait, tetapi ia juga berkewajiban untuk berdakwah sebagai tanggung jawabnya menjadi bagian dari masyarakat.
Oleh sebab itu, tidak layak bagi kita untuk membenturkan kewajiban yang satu dan yang lainnya.
Semua peran ini bisa berjalan bersamaan secara harmonis, tentu saja jika kita menjalankannya sesuai tuntunan syariat, bukan mengikuti aturan manusia. Sudah seyogianya umat kembali pada Islam yang telah menempatkan posisi perempuan pada posisi yang sangat mulia dalam seluruh perannya.
[Sholihul]