Postulat Filsafat , Ruang Cinta dan Filsafat Sains.

Centralinformationasean.com,30/11/2024) Filsafat, Artikel ini untuk semua orang yang mencintai pengetahuan,bukan Filsafat

Polemik yang pada awalnya adalah soal bagaimana sikap kita terhadap sains, terutama di masa pandemi, kini sudah mulai berubah menjadi polemik yang menghadap-hadapkan filsafat dengan sains. Ini terlihat, misalnya, pada tulisan Hamid Basyaib yang kemudian ditanggapi oleh Fitzerald Kennedy Sitorus. Pergeseran ini sangat bisa dipahami karena, dalam polemik ini, suara “kritis”—yang oleh sebagian orang mungkin disebut sebagai sikap “anti”—terhadap sains itu pertama kali datang dari Goenawan Mohamad yang suka sekali membawa-bawa nama filsuf besar seperti Whitehead, Popper, Husserl, dan Heidegger. Karenanya, saya menduga, ketika Hamid Basyaib menghadap-hadapkan filsafat dengan sains dan kemudian dengan begitu bersemangat menyerang filsafat, yang dijadikan sebagai representasi filsafat dalam pikirannya tak lain adalah Goenawan Mohamad.

Goenawan Mohamad tentu bukan representasi yang pas bagi filsafat. Tulisan-tulisannya pun jauh dari ciri tulisan filsafat yang argumentatif. Bagi saya, Goenawan Mohamad lebih tepat disebut sebagai penenun kata-kata—dan untuk satu hal ini, saya sangat kagum padanya. Namun, sayang, tenunan kata-kata tidak otomatis membuat sebuah tulisan menjadi tulisan filsafat. Karenanya, menyerang filsafat dengan menjadikan Geonawan Mohamad sebagai representasinya itu hanya akan terjebak ke dalam salah satu dari dua sesat pikir berikut: atau terjebak pada sesat pikir manusia jerami (straw man fallacy) karena kritiknya terhadap filsafat didasarkan pada misrepresentasi atau terjebak pada generalisasi gegabah (hasty generalisation) karena, meskipun memang ada pandangan sebagian filsuf yang serupa dengan pandangan Goenawan Mohamad, pandangan itu bukanlah keseluruhan filsafat.

Oleh karena itu, selain akan memberikan tanggapan kepada Goenawan Mohamad, saya juga akan memberikan klarifikasi bagaimana sebenarnya filsafat bekerja dan bagaimana hubungan ia dengan sains lengkap dengan contoh-contohnya. Klarifikasi ini, selain ditujukan kepada orang-orang yang menganggap filsafat sudah mati atau—dengan kemajuan sains—filsafat tidak dibutuhkan lagi, pertama-tama justru ditujukan kepada orang-orang yang menganggap filsafat bisa berdiri sendiri, terlepas dari sains sama sekali.

Filsafat sering disebut sebagai “armchair discipline”, sebuah disiplin ilmu yang bisa dikerjakan hanya dengan duduk-duduk di atas kursi, tanpa perlu masuk ke dalam laboratorium untuk melakukan eksperimen atau turun ke lapangan untuk melakukan survei atau observasi.

Istilah tersebut benar untuk menggambarkan salah satu ciri dari filsafat—bahwa, tidak seperti sains yang selalu mengupayakan bukti-bukti empiris bagi setiap hipotesisnya, filsafat lebih bersifat spekulatif dalam merumuskan tesis-tesisnya. Namun, sifat spekulatif ini tidak berarti bahwa filsafat boleh mengajukan tesis apa saja seenaknya.

Setiap tesis filosofis mesti didasarkan pada argumen rasional yang bisa diuji premis-premisnya. Argumen rasional inilah yang bisa dikatakan sebagai inti dari filsafat.

Jenis argumen yang bersesuaian dengan ciri spekulatif filsafat adalah argumen deduktif; dan bisa dikatakan bahwa sebagian besar tesis filosofis itu lahir dari model penalaran deduktif. Model penalaran ini bergerak dari satu prinsip umum (premis mayor) dan satu keadaan tertentu (premis minor) menuju ke sebuah klaim akhir (konklusi). Contoh klasik dari model penalaran deduktif adalah silogisme Aristotelian: “Semua manusia itu fana” (P1) dan “Sokrates adalah manusia” (P2), maka “Sokrates itu fana” (K). Contoh lainnya, di dalam logika proposisional, adalah bentuk penalaran modus ponens (P → Q, P Ⱶ Q) dan modus tolens (P → Q, ¬Q Ⱶ ¬P). P dan Q dalam notasi formal tersebut adalah variabel yang bisa merujuk pada berbagai macam proposisi; sedangkan → dan ¬ adalah konstanta logis yang masing-masing berarti “implikasi” (jika …, maka …) dan “negasi”.

Semisal, kita gunakan P untuk merujuk pada proposisi “Air ini bersuhu 100 derajat celcius” dan Q untuk proposisi “Air ini mendidih”. Modus ponens, yang berisi penegasan terhadap anteseden dari relasi implikasi P → Q, akan menghasilkan penalaran seperti ini:

“Jika air ini bersuhu 100 derajat celcius, maka air ini mendidih” (P → Q)
“Air ini bersuhu 100 derajat celcius” (P)
“Air ini mendidih” (Q)

Modus tolens, yang berisi penyangkalan terhadap konsekuen dari relasi implikasi P → Q, akan menghasilkan penalaran seperti ini:

“Jika air ini bersuhu 100 derajat celcius, maka air ini mendidih” (P → Q)
“Air ini tidak mendidih” (¬Q)
“Air ini tidak bersuhu 100 derajat celcius” (¬P)

Semua bentuk penalaran tersebut valid. Artinya, kesimpulannya bernilai benar karena diperoleh dari premis-premis yang mendahuluinya melalui proses penyimpulan yang sesuai dengan aturan formal penalaran. Namun, argumen yang bisa kita terima bukan argumen yang hanya valid, melainkan argumen yang andal (sound), yaitu argumen yang, selain kesimpulannya diperoleh melalui proses penalaran yang benar, premis-premisnya juga bernilai benar. Maka pertanyaannya: apa yang menjadi dasar bahwa P1 dan P2 dalam silogisme di atas itu benar sehingga K bisa kita terima? Apa yang mendasari bahwa premis P → Q; premis P; dan premis ¬Q itu benar sehingga Q pada modus ponens dan ¬P pada modus tolens di atas juga bisa kita terima?

Pada titik itulah, filsafat tidak bisa berdiri sendiri dengan spekulasi rasionalnya. Ia memerlukan data-data pendukung untuk menjamin bahwa premis-premis yang dibuat untuk menyusunan tesisnya itu benar. Untuk mengetahui apakah P itu benar atau tidak, misalnya, filsafat paling tidak membutuhkan termometer untuk mengukur suhu air. Bahkan untuk mengetahui kebenaran P → Q, filsafat masih memerlukan konfirmasi sains.

Temuan sains ternyata mengungkapkan bahwa berlaku ceteris paribus untuk P → Q pada contoh di atas. Artinya, air yang bersuhu 100 derajat celcius itu akan mendidih jika berada pada tekanan udara 1 ATM atau pada posisi sejajar dengan permukaan air laut; dan akan selalu demikian jika dan hanya jika tidak ada faktor-faktor lain yang memengaruhi (ceteris paribus). Mengapa berlaku ceteris paribus? Karena sains menjelaskan bahwa titik didih itu muncul ketika tekanan uap pada air sama dengan tekanan udara di sekitar. Begitu tekanan udara di sekitar turun (kurang dari 1 ATM), maka untuk membuat tekanan uap pada air sama dengan tekanan udara sekitar hanya memerlukan suhu di bawah 100 derajat celcius. Ini berarti bahwa titik didih air di dataran tinggi dengan tekanan udara yang rendah tidak sampai 100 derajat celcius.

Maka, meskipun secara logis valid, modus ponens dan modus tolens di atas masih mungkin tidak andal karena premisnya keliru. Argumen yang tidak andal bukan argumen yang layak kita terima. Karenanya, jika filsafat hendak melakukan refleksi atau spekulasi tentang hal-hal yang terkait dunia empiris atau dunia alamiah, maka ia harus menyusun premis-premisnya berdasarkan pada temuan-temuan ilmiah. Tanpa dasar temuan ilmiah, tesis-tesis yang dihasilkan pasti hanya omong kosong belaka.

Contoh di atas tentu hanya contoh sederhana. Kita bisa mengubah premis-premis di atas dengan proposisi-proposisi lain yang dapat menghasilkan tesis filosofis.

Contoh tesis filosofis yang secara menyedihkan miskin data ilmiah adalah tulisan filsuf Italia Giorgio Agamben perihal COVID-19. Pandemi COVID-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 ini pertama-tama merupakan bagian dari dunia alamiah—sebelum kemudian bisa ditarik menjadi bagian dari domain ekonomi, politik, dan budaya. Jika seorang filsuf hendak mengajukan satu tesis filosofis yang terkait dengannya, maka pertama-tama dia mesti tahu temuan-temuan sains perihal COVID-19. Berdasarkan temuan-temuan sains itulah dia mesti menyusun premis-premisnya untuk kemudian dia refleksikan menjadi sebuah tesis filosofis.

Agamben, sialnya, mengajukan satu tesis filosofis perihal COVID-19 dengan menggunakan premis yang miskin data ilmiah. Di dalam tulisannya “L’invenzione di un’epidemia” (“The Invention of an Epidemic”) yang terbit pertama kali di Quodlibet pada 26 Februari 2020 (sebelum WHO mendeklarasikan COVID-19 ini sebagai pandemi), Agamben mengajukan satu tesis bahwa penemuan epidemi ini menjadi dalih (pretext) bagi pemberlakukan kondisi kekecualian (state of exception) yang memungkinkan pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan yang melampaui hukum, seperti membatasi kebebasan warga untuk melakukan aktivitas sehari-hari sebagaimana biasa. Artinya, di dalam kondisi kekecualian, pemerintah boleh mengambil tindakan-tindakan luar biasa (extraordinary measures) karena diandaikan bahwa kita sedang menghadapi satu kondisi tertentu yang juga tidak biasa. Tesis Agamben ini muncul dari beberapa premis yang diyakininya sendiri: bahwa 1) “tidak ada epidemi SARS-CoV-2 di Italia” dan, jikapun ada, “virus ini pada sebagian besar kasusnya hanya menyebabkan gejala ringan atau sedang sebagaimana virus influenza”; tetapi 2) “media dan pemerintah menyebarkan kepanikan kepada masyarakat sehingga muncul kebutuhan diberlakukannya kondisi kekecualian (state of exception)”; oleh karena itu, 3) “penemuan epidemi SARS-CoV-2 hanyalah dalih bagi pemberlakuan kondisi kekecualian”.

Berdasarkan pada premis 1) dan 2), kesimpulan 3) secara logis valid. Jika diterjemahkan ke dalam bentuk proposisi logis kira-kira seperti ini:

“Jika SARS-CoV-2 tidak ada di Italia dan ia sebenarnya sama dengan virus Influenza tetapi media dan pemerintah menyebarkan kepanikan kepada masyarakat, maka SARS-CoV-2 ini hanyalah dalih bagi pemberlakuan kondisi kekecualian” Jika (P → Q)

“SARS-CoV-2 tidak ada di Italia dan ia sebenarnya sama dengan virus Influenza tetapi media dan pemerintah menyebarkan kepanikan kepada masyarakat” (P)

“SARS-CoV-2 ini hanyalah dalih bagi pemberlakuan kondisi kekecualian” (Q)

Meskipun valid, apakah argumen Agamben ini andal (sound)? Untuk mengetahui keandalan (soundness) sebuah argumen, kita perlu memastikan apakah premis-premisnya itu benar atau tidak. Karenanya, menanggapi argumen Agamben ini, kita perlu bertanya: benarkah SARS-CoV-2 tidak ada di Italia dan ia sama dengan Flu biasa? Data menunjukkan bahwa dua kasus pertama COVID-19 di Italia itu sudah terkonfirmasi sejak 31 Januari 2020; sementara Agamben menyatakan “tidak ada SARS-CoV-2 di Italia” pada 26 Februari 2020. Ini sungguh menyedihkan. Temuan-temuan sains juga menyatakan bahwa meskipun COVID-19 dan Flu menimbulkan gejala yang serupa, tetapi COVID-19 memiliki tingkat penularan yang lebih cepat daripada Flu dan, ini yang dilupakan Agamben, belum ada vaksin yang terbukti ampuh bagi COVID-19 sebagaimana bagi Flu. Dengan demikian, argumen Agamben ini, meskipun valid dan bahkan tampak menunjukkan sikap kritis, sebenarnya hanya omong kosong belaka karena salah satu premisnya keliru.

Dalam konteks ini, kita mau tidak mau harus menerima sebagian tesis naturalisme metodologis Quine bahwa sains dan filsafat itu mesti berkesinambungan dan bahwa filsafat mesti diletakkan sebagai bagian dari upaya ilmiah (Tesis Kontinuitas).

Artinya, karena filsafat merupakan refleksi lebih lanjut terhadap temuan-temuan sains, maka tesis-tesisnya pun juga mesti diuji dengan berdasarkan bukti-bukti saintifik. Hal itu hanya mungkin jika kita menolak tesis otonomi filsafat dari sains. Sebab begitu kita menganggap filsafat otonom dari sains, maka kita akan kesulitan untuk membantah, misalnya, omong kosong Agamben.

Namun, kita tidak bisa menerima bagian lain, dan mungkin bagian utama, dari tesis naturalisme metodologis yang menyatakan bahwa “di dalam sains itu sendiri, bukan di dalam filsafat sebelum sains, realitas itu semestinya diidentifikasi dan dideskripsikan”.

Jika ‘realitas’ yang dimaksud Quine di situ adalah realitas alamiah, maka tentu saja pernyataan Quine itu bisa kita terima sepenuhnya. Setiap upaya mengenali dan mendeskripsikan realitas alamiah harus selalu melalui sains dan, dalam konteks ini, filsafat mesti hadir bersama dengan sains, bukan mendahului sains. Persoalannya muncul ketika tesis naturalisme metodologis ini berpadu dengan naturalisme ontologis yang beranggapan bahwa apa yang ada hanyalah apa yang bisa ditelaah oleh ilmu alam, yaitu entitas alamiah. Konsekuensi dari perpaduan ini adalah tidak adanya filsafat sebelum sains (prior philosophy) karena realitas itu seluruhnya adalah realitas alamiah yang bisa ditelaah oleh ilmu alam.

Ini juga berarti tidak mungkinnya segala bentuk pengetahuan a priori atau pengetahuan analitik. (Quine menolak pembedaan pernyataan analitik-sintetik. Tapi saya tidak ingin terlalu masuk ke dalam perdebatan ini, karena butuh ruang tersendiri). Oleh karena itu, menerima naturalisme dalam pengertian metodologis dan ontologis sekaligus tidak hanya berarti menghilangkan kemungkinan adanya filsafat sebelum sains, yaitu filsafat yang bersifat analitik dan a priori, tetapi juga menghilangkan kemungkinan adanya logika dan salah satu perangkat penting di dalam sains, yaitu matematika.

Logika dan matematika, di dalam kerangka naturalisme ini, hanya mungkin dalam bentuknya yang psikologistik. (Kritik terhadap logika dan matematika yang psikologistik ini sudah sejak lama disampaikan oleh filsuf seperti Frege dan Husserl).

Menolak naturalisme semacam itu, selain berarti membuka kemungkinan bagi logika dan matematika dalam bentuknya yang non-psikologistik, juga berarti memberi ruang bagi filsafat untuk ada sebelum, pada saat, dan sesudah sains bekerja—sejauh yang menjadi objek investigasi filsafat itu bukan entitas alamiah. Jika yang menjadi objek investigasi filsafat adalah entitas non-alamiah, seperti proposisi, konsep, bahasa, makna, dan nilai, maka filsafat dapat bekerja tanpa perlu menunggu pembuktian empiris dari sains, sebab entitas-entitas itu memang tidak mungkin diselidiki melalui metode empiris sains. Dalam konteks ini, posisi filsafat itu seperti yang digambarkan oleh Wittgeinstein, yaitu bukan di samping ilmu alam, melainkan di atas atau di bawah ilmu alam. Filsafat bertugas untuk memberikan klarifikasi terhadap pemikiran dan proposisi-proposisi baik yang digunakan di dalam percakapan sehari-hari maupun dalam aktivitas ilmiah. Hal ini menggambarkan filsafat sebagai analisis konseptual.

Objek analisisnya adalah konsep-konsep dan pemikiran dan, karenanya, filsafat tak harus selalu menunggu data-data empiris sebagai penopang.

Filsafat bisa bekerja tanpa topangan sains begitu objek investigasinya bukan entitas alamiah. Ia, misalnya, bisa bekerja dengan menggunakan apa yang disebut sebagai eksperimen pikiran (thought experiment). Berbeda dari eksperimen pada ilmuwan, eksperimen pikiran ini dilakukan secara imajiner dengan membayangkan satu situasi tertentu yang mungkin terjadi. Dari situasi imajiner itulah, seorang filsuf kemudian menarik satu klaim filosofis tertentu. Semisal, eksperimen pikiran Twin-Earth yang dilakukan oleh Hilary Putnam: andaikan ada satu planet yang komponen-komponennya dan seluruh penghuninya sama dengan planet Bumi ini.

Sebut saja planet itu sebagai “Bumi Kembar”. Segala hal yang ada di Bumi ini pasti memiliki kembarannya di Bumi Kembar. Saya yang sedang duduk di atas sebuah kursi dan mengetik di sebuah laptop ini juga memiliki kembaran di Bumi Kembar. Bedanya, apa yang tampak seperti kembaran air di Bumi Kembar itu ternyata tidak terdiri dari unsur kimiawi H2O, melainkan XYZ. Namun, karena penampakannya persis sama seperti air di Bumi ini, maka penghuni Bumi dan Bumi Kembar tidak tahu bahwa cairan itu tidak terdiri dari H2O dan, karena itu, mereka tetap menyebut cairan tersebut dengan kata “air”.

Eksperimen pikiran tersebut oleh Putnam digunakan untuk mendukung tesis eksternalisme semantiknya bahwa makna sebuah kata tidak ditentukan oleh pengalaman psikologis penuturnya, melainkan oleh faktor-faktor yang eksternal darinya. Artinya, meskipun saya dan kembaran-saya di Bumi Kembar itu memiliki pengalaman yang sama tentang cairan yang tampak seperti air, tetapi ketika kembaran-saya menyebut kata “air” itu berbeda maknanya dengan saat saya menyebut kata yang sama. “Air” dalam bahasa saya merujuk pada cairan yang terdiri dari H2O; sedangkan “air” dalam bahasa kembaran-saya merujuk pada cairan yang terdiri dari XYZ. Oleh karena itu, dalam kalimat Putnam yang terkenal, “makna itu tidak ada di dalam kepala”. Persoalan status ontologis makna di dalam teori semantik itu jelas tidak bisa dihampiri dengan pendekatan empiris. Eksternalisme semantik, karenanya, tetap sah sebagai sebuah tesis filosofis meskipun tidak memiliki bukti empiris.

Contoh lain eksperimen pikiran adalah “Ruang Cina” (Chinese Room): andaikan saya ada di sebuah ruangan dan, melalui sebuah lubang di ruangan itu, saya bisa menerima dan memberikan pesan kepada seseorang yang ada di luar ruangan. Suatu ketika, ada orang Cina mengirim pesan-pesan pendek kepada saya dengan huruf Cina. Tentu saya tidak paham huruf-huruf yang ia tulis, tetapi di dalam ruangan itu saya memiliki satu buku panduan bahasa Cina.

Saya pun bisa memberikan tanggapan kepada orang Cina tersebut hanya berdasarkan buku panduan yang saya miliki. Saya tinggal mencocok-cocokkan: jika, misalnya, saya mendapati huruf HFSBGO, maka huruf-huruf yang harus saya keluarkan berdasarkan buku panduan tersebut adalah KONSFPOHGEOG. Saya pun bisa melakukan dialog dengan orang Cina tersebut, sehingga orang Cina itu merasa saya benar-benar paham bahasa Cina. Padahal saya sama sekali tidak mengerti apa yang saya sendiri sampaikan, apalagi apa yang dia sampaikan.

Eksperimen pikiran “Ruang Cina” itu pertama kali dikemukan oleh John Searle untuk membantah tesis fungsionalisme dalam filsafat akal-budi (philosophy of mind). Fungsionalisme berpandangan bahwa pikiran (mind) hanyalah satu sistem pemroses-informasi (information-processing system) yang beroperasi berdasarkan simbol-simbol formal. Implikasinya, menurut fungsionalisme, objek apa pun yang memiliki sistem pemroses-informasi tersebut bisa dikatakan memiliki pikiran.

Jika sebuah robot benar-benar bisa diprogram dengan sistem tersebut, maka robot itu bisa kita sebut memiliki pikiran sebagaimana yang kita miliki. Melalui eksperimen pikiran “Ruang Cina”, Searle berhasil membantah tesis fungsionalisme ini. Ketika sebuah robot bisa memberikan respons yang tepat terhadap masukan (input) yang kita berikan, maka hal itu sama dengan apa yang terjadi pada saya saat berada dalam “Ruang Cina”. Saya tidak mengerti apa yang saya terima (input) dan apa yang saya berikan (output). Saya melakukan “dialog” hanya berdasarkan buku panduan; dan dengan hal itu saja saya tidak bisa disebut memiliki pikiran, karena tidak ada konten mental yang saya miliki saat menerima dan memberikan pesan. Persis inilah yang terjadi pada robot atau pun komputer yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan. Ia bisa mengatakan sesuatu tanpa harus mengerti apa yang ia katakan. Ia melakukan itu hanya berdasarkan pada program tertentu yang telah terpasang, tanpa memiliki konten mental atau sikap intensional terkait apa yang ia sampaikan. Robot dan komputer, karenanya, tidak bisa disebut memiliki pikiran.

Contoh-contoh eksperimen pikiran tersebut hanya untuk menunjukkan bahwa filsafat, ketika objek investigasinya adalah entitas non-alamiah, mungkin bekerja tanpa perlu bukti empiris dari sains.

Di sini filsafat menggunakan argumen yang murni rasional untuk menyusun ataupun menyangkal tesis filosofis tertentu.

Dan kerja-kerja filsafat yang demikian itu tidak bisa diremehkan begitu saja hanya karena tidak menghasilkan teknologi yang bernilai guna. Kerja-kerja filsafat berguna untuk menerangi pikiran dari kegelapan atau—dalam bahasa orang beragama—untuk membedakan yang-hak dan yang-batil. “Tanpa filsafat,” kata Wittgenstein, “pemikiran akan kabur dan suram”.

[Bersambung…]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *